Langsung ke konten utama

Ketika Sains Tanpa Rasa Kemanusiaan

Berbicara mengenai sains mungkin kita sudah banyak yang mengetahuinya. Mungkin kita menghubungkan sains dengan kemajuan sebuah teknologi dan pengembangan-pengembangan ilmu lainnya. Sains ini memang memiliki peran yang sangat penting dalam perubahan dunia. Tampa sains mungkin hidup kita akan seperti orang primitif, sulit melakukan sesuatu dengan dengan capat.

Berbicara perubahan dunia, sains memang mempengaruhi perkembangan dunia. Terutama bagia negara-negara maju seperti amerika, jepang dan negara belahan eropa. Teknologi mereka dianggap maju serta sistem kenegaraannya pun juga sudah maju. 

Dengan efek globalisasi ini, teknologi dan informasi mempengaruhi negara-negara berkembang seperti Indonesia, Arab, Iran, Philipina dan negar lainnya. Negara-negara berkembang ini ikut serta terhadap kemajuan dunia, hanya saja tidak memiliki peran yang signifikan terhadap perubahan dunia, sehingga negara berkembang tidak mampu bersaing dengan negara maju terutama dalam hal ekonomi.

(Pixabay.com)

Ini menjadi sebuah permasalahan ketika negara-negara maju ini hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Pengembangan sains yang mereka lakukan hanya untuk meraup keuntungan-keuntungan semata. Coba saja kita perhatikan, semua bisnis basti berbasis teknologi. Seperti gadget, mobil, alat rumah tangga, dan semacamnya.

Negara-negara berkembang memang dibiarkan agar tidak maju, supaya negara maju bisa mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Coba saja pikir, negara-negara maju tentunya adalah negara yang minim akan sumber daya alam mereka tidak akan maju tanpa adanya sumber daya alam. Sehingga yang mereka mampu lakukan adalah mengembankan ilmu pengetahuan agar mampu meraup keuntungan dari negara-negara berkembang.

Coba kita perhatikan produk-produk yang kita pakai. Apakah bahan-bahan tersebut kita kenal misalnya seperti Coklat Swiss saja itu coklatnya bukan dari Swiss tetapi dari afrika kemudian bahan mentahnya di ekspor ke Swiss lalu di olah kemudian dijual lagi ke Afrika dengan harga yang cukup fantastis. Atau contoh lainnya seperti Mobil, mungkin saja bahan-bahan seperti ban itu bahan bakunya seperti karet mungkin diambil dari Indonesia. Sebetulnya mungkin masih banyak contoh-contoh lainnya. Dengan ada banyak teknologi-teknologi yang kita gunakan, ini membuktikan bahwa kita sudah ketergantungan barang luar bahkan bangga dengan barang luar. 

Selain bahan-bahan baku yang disuport dari negara-negara berkembang. Kita sebagai negara berkembang juga hanya sebagai budak di negeri sendiri yang tuan-tuannya berasal dari negara maju. Coba saja perhatikan, pabrik yang ada di Indonesia, tentunya banyak pegawai yang berasal dari pribumi seperti buruh pabrik, walaupun ada yang memiliki jabatan tinggi, itu hanya sedikit dan bukan sebagai CEO. 

Kita seakan bangga ketika asing datang lalu menciptakan lapangan kerja yang luas, padahal itu sebetulnya sistem penjajahan model baru. Kita memang tidak dijajah oleh senjata tetapi dijajah secara mental dan ilmu pengetahuan. Kita memang sengaja dibiarkan menjadi bangsa buruh, dengan pendidikan yang dicekoki dengan ideologi pragmatis, yang penting selesai sekolah langsung kerja tanpa berpikir ulang mengenai apa yang harus dirubah. Mau sampai kapan kita seperti ini terus terjajah di negeri sendiri, hanya memikirkan perut masing-masing tanpa ada kesadaran untuk merubah diri.

Perang memang sudah berakhir, namun kesengsaraan belum berakhir. Di belahan bumi lain masih banyak manusia yang buta akan teknologi sehingga sumber daya yang mereka miliki diambil, lalu kemudian mereka menjadi miskin di negaranya sendiri. Hutang negar semakin menumpuk gara-gara ketergantungan barang import. apa gunanya punya sumber daya alam yang melimpah namun tidak dikelola oleh sendiri dan dinikmati oleh sendiri. Inilah yang terjadi apabila sains tanpa kemanusiaan, Ia digunakan hanya untuk menjajah negara lain, demi keuntungan pribadi. 

Negara berkembang seharusnya mampu bangkit dari keterpurukan ini. Jangan sampai ini terjadi terus-menerus sampai ke anak cucu kita. Kita seharusnya mampu menciptakan teknologi sendiri tanpa harus mengikuti negara-negara maju. Memang kita perlu teknologinya namun bukan ketergantungan, amati tiru lalu modifikasi.

Permasalahan bukan hanya ketersediaan teknologi dan ilmunya. Namun kesiapan mental juga penting untuk dilakukan terutama mental untuk merubah diri dan merubah mindset diri. kita terlalu nyaman dijajah oleh negara lain sehingga tidak sadar membuat mental kita semakin lama bermental budak. Bukan hanya masyarakat kecilnya yang bermental budak tetapi kaum kaum elit juga bermental budak. Mereka menjadi seorang penjilat menandatangani izin perusahaan hanya untuk kepentingan sendiri tanpa memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Jika seperti ini terus, apa yang bisa diharapkan dan apa yang haru kita lakukan. Hany menunggu takdir tuhan entah kapan bisa berubah, padahal Tuhan akan merubah suatu kaum jika ia ingin merubahnya. 

Kita memang tidak bisa menyalahkan sains, tetapi kita harus salahkan siapa yang menggunakan sains. Sains seharusnya bukan untuk bisnis apalagi untuk menjajah. Seharusnya sains digunakan untuk kemaslahatan umat bukan untuk merusak. Negara maju semestinya sadar, apa yang mereka lakukan di negara berkembang adalah hal yang tidak berkemanusiaan mereka hanya memikirkan kepentingan negeranya sendiri bahkan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Kesadaran dunia ini memang adalah hal yang teramat sulit untuk di hidupkan. Karena iblis yang berwujud manusia tentunya tidak akan diam jika manusia berdamai dengan manusia lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...