.
Jika Tak Ingin Menjadi Apa-apa
(Pixabay.com) |
Jika waktu kecil mungkin kita memiliki cita-cita yang dibanggakan dan ingin dicapai. Ada yang ingin jadi polisi, tentara, guru, pilot, masinis, dokter dan lainnya. Semua yang dicita-citakan semuanya apa yang dipahami dan diketahui mereka yang seperti itu lah orang-orang keren.
Namun semakin kesini, semakin pupus lah cita-cita. Semaki tahu akan realitas, semakin bingung. Mau apa tujuan ke depan, apa yang dicita-citakan, dan apa harapan ke depan. Semuanya menjadi bias ketika diri ini malas. Semakin kesini semakin berat ternyata tantangannya. Persaingan semakin ketat dan peluang semakin sempit.
Manusia memang hanya merencanakan tetapi tuhan yang menentukan. Sebesar apapun usaha kita jika tuhan tidak mengehendaki maka tidak akan terjadi. Bolehkah diri ini untuk tidak bercita-cita. Karena rasanya muak dengan cita-cita, hanyalah sebuah angan-angan dan ekspetasi belaka. harapan yang tinggi namun tidak diimbangi dengan kemampuan yang mempuni. Ingin rasanya hidup ini seperti mimpi, menginginkan sesuatu tanpa harus ada usaha.
Lelah rasanya hidup ini seakan hanya sebuah formalitas, apa yang dilakukan hanya sebatas menggugurkan kewajiban dan melepaskan diri dari segala tuntutan. Semakin menjalani hidup semakin sulit untuk dijalani rupanya. Lika-liku dalam hidup penuh dengan tantangan dan cobaan. Harapan berbanding terbalik dengan realitas, semakin hari semakin tak bebas. Apakah ada secercah harapan untuk menggapai impian, jika tidak lalu harus apa.
Jika tak ingin menjadi apa-apa, lalu apa yang harus saya lakukan. Jika diam saja, maka seperti ikan mati yang hanyut di sungai terombang ambing di dalam arus, berjalan tapi tak hidup seperti itulah perumpamaannya. Walaupun memang cita-cita itu tercapai, apakah bisa membawa kebahagiaan. Terkadang kita berpikir jika cita-cita tercapai maka akan mendatang ken kebahagiaan. Memang bisa saja bahagia namun apakah itu kebahagiaan yang sesuai dengan harapan.
Jika dipikir ulang kembali, sebetulnya apa sih makna sebuah kesuksesan itu. Apakah harus dengan uang, popularitas, kekuasaan dan jabatan. Apakah hal itu yang namanya kesuksesan hidup. Banyak yang mengejar-ngejar itu semua sampai banyak mengorbankan apapun. Bekerja siang malam hanya untuk mencari uang untuk mendapatkan kebahagiaan, namun ujung-ujungnya hanya mengorbankan jiwa dan raga. Pikiran stres dan badan sakit-sakitan. Apakah harus seperti itu kah untuk mendapatkan kebahagiaan. Menurut saya justru hal tersebut hanya membawa kesengsaraan saja.
Jika ingin sukses maka harus bahagia terlebih dahulu dan Jika ingin bahagia, mungkin seharusnya tidak harus menjadi apa-apa. Maksudnya tidak harus tercapai cita-cita untuk menggapai kebahagiaan, karena bisa jadi kebahagiaan ada disekitar kita. Menjadi diri sendiri adalah hal yang terbaik dari pada mencari yang lain. Hidup bersama dengan orang-orang ramah, bercengkrama, dan berbaur bersama dari pada sendirian di atas puncak kesuksesan.
Kesejahteraan tidak harus di ukur dengan materi yang banyak. Yang terpenting hidup rukun damai dan sentosa. Hanya manusia-manusia bodohlah yang rela berbuat jahat demi kesenangannya, tanpa memikirkan orang lain. Semestinya kita harus melepas diri dari hal-hal materil, karena itu adalah candu yang selalu membelenggu jiwa, menutup mata hati kita dari kebahagiaan sejati.
Jika kebahagiaan sudah didapat, lantas apa yang harus diraih. Semuanya akan terlihat biasa saja bagi jika orang yang telah menemukan kebahagiaan sejati. Bahagia bukan apa kata orang tetapi apa kata diri (hati). Mendengarkan hati nurani dengan hati yang tulus tanpa paksaan melakukan sesuatu untuk menyenangkan orang lain dan diri sendiri. Inilah surga dunia, tidak ada rasa curiga, resah, gelisah dan dendam.
Saat ini saya tidak ingin menjadi apa-apa. Yang sekarang saya ingin lakukan adalah bisa berkarya mengeluarkan semua pikiran, menyenangkan orang dengan sebuah tulisan yang sederhana ini. Lebih baik jalani saja hidup, nikmati perjalanannya, tidak usah menghawatirkan masa depan krena tuhan sudah menentukan takdir setiap hambanya.
Komentar
Posting Komentar