Langsung ke konten utama

Penerimaan Pahitnya Realita

Bicara tentang sebuah kenyataan mungkin semua orang sudah mengetahuinya seperti apa itu realitas. Namun tidak semua orang bisa menerima sebuah realitas karena mungkin saja realitas yang ia alami adalah realitas yang teramat sakit dan pahit sehingga ia enggan untuk menerima sebuah kenyataan. Hal tersebut bisa terjadi ketika orang disayangi meninggal atau adanya sebuah penghianatan. Kenyataan pahit seperti ini tentu semua orang sulit untuk menerimanya. 

Kebanyakan orang hanya ingin menerima kenyataan yang manis saja. Memang seperti itulah tabiat manusia ia lebih memilih senang ketimbang penderitaan. Memang wajar jika manusia ingin yang nikmatnya saja namun yang perihnya tidak mau menerimanya. 

Namun yang namanya realitas tetaplah realitas ia tidak bisa dihindari meski sakit sekalipun. Dari sini tentu mau tidak mau manusia harus bisa menerima kenyataan yang pahit. Tentu dalam menerima kenyataan pahit ini haruslah dengan proses yang mungkin setiap orang itu berbeda-beda dalam durasi penerimaannya. Ada yang cepat dan ada yang lambat, semakin manusia itu banyak menerima kenyataan pahit maka ia semakin mendekati sebuah realitas. 

Iya memang, yang namanya manis itu fiktif sementara yang namanya pahit itu fakta. Semakin banyak manusia mengalami rasa manis sebenarnya hidupnya berada dalam dunia fiktif. Jika demikian lantas apakah kehidupan ini isinya hanyalah penderitaan saja. Apakah manusia dilarang untuk bahagia jika nyatanya bahagia itu adalah fiktif. 

Sebenarnya bahagia itu tetap ada namun manusia tetap harus melewati terlebih dahulu kenyataan yang pahit. Tanpa melewati hal tersebut maka ia sesungguhnya tidak bisa menikmati rasa manis yang sesungguhnya. coba saja kita minum segelas air lalu bandingkan antara orang yang sedang duduk santai dengan orang yang berolahraga. Kira-kira mana yang lebih menikmati dan benar-benar menikmati rasa air tersebut. Tentulah orang yang sudah berolahraga karena ia merasa lelah dan butuh air itu dibandingkan orang yang sedang duduk santai tentunya rasanya akan hambar dan biasa saja. 

Jadi bisa dikatakan rasa manis ini akan terasa hambar jika tanpa melewati perjuangan pahit. Sedangkan rasa manis itu akan terasa jika melewati perjuangan yang pahit. Sehingga bisa dikatakan bahwa sebuah hadiah manis itu tergantung seberapa besar perjuangannya. 

Orang yang berjuang tentu akan selalu menghargai apa yang telah didapat. Namun berbeda dengan orang yang tidak pernah berjuang apa yang didapat tentu ia bisa buang begitu saja, sehingga dirinya bukannya semakin baik dan menghargai namun justru malah menjadi manusia yang buruk dan tidak menghargai. 

Manusia-manusia yang hebat ketika diberi kenyataan pahit maka ia seperti orang yang sedang menikmati secangkir kopi pahit. Bagi yang sering menikmati rasa pahit mungkin akan terasa aneh jika diberi rasa manis, karena saking terbiasanya dengan rasa pahit. Ketika diberi rasa manis mungkin saja ia akan menolaknya atau hanya menerima sedikit saja rasa manis itu. 

Sedangkan orang yang tidak biasa maka ia akan sedikit keheranan dan tidak akan sanggup untuk menghabisinya. Bagi yang sering merasakan manis tentu ini bisa berbahaya bagi dirinya, karena kita tahu bahwa yang namanya rasa manis itu sering mengundang banyak penyakit berbahaya. Sehingga meski manis itu nikmat namun jika dinikmati secara berlebih tentu itu menjadi rasa pahit ada akhirnya. 

Begitulah hidup, pahit manisnya hidup bukan dilihat dari apa rasanya namun bagaimana ia memahami hal tersebut. Penerimaan terhadap realitas juga demikian, jangan dilihat seperti apa realitasnya namun bagaimana kita memahami, menerima, menghadapi, dan membiasakannya. Bagi yang paham betul mungkin hanya sedikit menghadapi kendala namun sepenuhnya ia bisa melewatinya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...