Langsung ke konten utama

Kontradiksi antara Stagnasi dengan Kreatifitas

Bicara soal perubahan masa mungkin suatu perubahan tidak akan pernah berhenti. Dimana suatu perubahan itu diciptakan oleh perbuatan manusia. Meski sebenarnya makhluk lain seperti tanaman hewan dan unsur mati juga bisa membuat suatu perubahan.

Namun jika kita bicara tujuan apa sebenarnya alam untuk merubah. Tentu antara gerak perubahan alam dengan gerak perubahan manusia itu berbeda. Gerak alam biasanya ia memang dipengaruhi oleh genetiknya yang mana ia berubah sesuatu apa yang ada dalam genetiknya jika ia tumbuh lalu memiliki fungsi untuk menghasilkan buah atau bahan lainnya dan ia hanya bisa berubah sampai segitu saja. 

Berbeda dengan manusia yang mana ia bisa memahami sesuatu dari berbagai sudut pandang, menciptakan berbagai perubahan dari satu barang, dan ia tentu dalam hidupnya bergerak dengan tujuan yang ingin dicapai. Manusia memang bagian alam namun alamnya manusia berbeda dengan alam lainnya. Manusia adalah alam yang memiliki tujuan yang bervariatif yang mana tentu setiap manusia memiliki tujuan hidupnya masing-masing. 

Ada memang manusia yang ingin selalu bergerak dan ada pula manusia yang tidak ingin bergerak. Manusia-manusia yang tak ingin bergerak bisanya ia terjebak dalam faktisitas yang sudah dibangun, seakan-akan dunia tidak perlu perubahan lagi manusia yang mana ia hanya bertugas meneruskan budaya nenek moyang secara turun menurun. 

Dalam siklus masa peradaban memang ada masa kreatifitas kemudian stagnansi dari stagnansi ini muncul meta kreatifitas bahkan bisa juga menjadi anti stagnasi. Sebenarnya tidak ada masa stagnasi secar mutlak. Yang dikatakan stagnasi disini dimana sebuah ilmu pengetahuan, teori, benda-benda teknologi maupun semacamnya itu berada pada satu garis lurus sama. Semisal jika seorang filsuf mencetuskan teori A maka muridnya akan berpikiran sama seperti gurunya hanya saja dari teori A ini kemudian dikembangkan menjadi lebih jelas, kompleks dan detail sehingga ini memperkuat teori lama. Sehingga ini menciptakan sebuah dominasi ilmu pengetahuan kemudian ilmu tersebut dipolitisasi sehingga menjadi sebuah ideologi. 

Namun mengapa ini dikatakan stagnan karena memang tidak ada penolakan secara total atau menciptakan sebuah teori yang mana tidak di adaptasi dari teori sebelumnya. Sebuah masa jika dikatakan masuk kembali ke fase kreativitas atau anti stagnasi. Pada awal perubahan tentu banyak orang yang menolak dan menentang karena sebuah pemikiran yang baru belum tentu diterima oleh masyarakat luas secara cepat. Apalagi dikalangan intelektual yang menganut garis keras sebuah mazhab pengetahuan. 

Sebuah perubahan yang awalnya didominasi oleh satu mazhab ilmu pengetahuan yang besar tentu harus dilawan oleh satu dominasi yang besar pula. Tidak sedikit manusia yang rela berperang demi menyebarkan sebuah pengetahuan baru.

Memang jika dulu, perubahan itu diciptakan melalui jalur politik bahkan dengan kekerasan sekalipun meski sebenarnya saat ini masih ada meski tujuannya bukan ideologi atau pengetahuan namun semata-mata untuk kepentingan bisnis.

Saat ini memang media yang bisa membawa perubahan adalah media sosial. Namun tetap saja media sosial yang kita ketahui saat ini rupanya belum bisa membawa perubahan secara signifikan. Manusia yang aktif di media sosial pun rupanya hanya memberikan sebuah komentar tanpa ada aksi. Memang iya berita itu mudah tersebar namun hanya sedikit dari pemicu media sosial dalam melakukan sebuah pergerakan. Akhirnya media sosial pun terjadi sebuah stagnasi yang mana tidak ada perubahan di dalamnya. 

Saat ini memang kita berada di era stagnansi dimana dunia stagnan akibat kapitalisme. Kapitalisme yang berdiri di atas dunia, membuat perputaran dunia menjadi macet. Akankan ada sebuah ideologi baru atau ideologi lama yang sudah dipersiapkan untuk menggeser ideologi lama. Mungkin rasanya sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama kan tetapi perubahan tentu saja akan terjadi dan menciptakan sebuah sistem pemikiran dan sistem sosial yang baru. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...