Langsung ke konten utama

Ambiguitas Kesetaraan Gender Kaum Feminis

Saat ini marak sekali kajian dan diskusi-diskusi tentang kesetaraan gender. Ini mungkin merupakan sebuah langkah maju terutama bagi perempuan. Memang ini terlihat sebuah langkah yang mulia dan baik, akan tetapi apakah cita-cita ini adalah sesuatu langkah yang benar-benar baik atau sebetulnya ada bias-bias yang mana seakan itu jelas padahal itu adalah samar yang mana ini bisa saja bukan cita-cita semua perempuan tetapi ini bisa jadi adalah sebuah hegemoni dari satu perempuan yang gencar mempengaruhi wanita lain.

Mengenai kesetaraan gender ini, sebetulnya merupakan sesuatu yang mungkin masih dibilang ambigus. Kira-kira apa sih yang membuatnya ambigu dan mengapa bisa dikatakan kesetaraan gender ini ambigu. 

Apa makna kesetaraan gender? 

Sampai saat ini mengenai makna kesetaraan ini masih sebuah narasi yang bingung atau konsepnya masih ada yang menggantung. Jika kita mengetahui apa itu kesetaraan, yang pasti itu merujuk pada kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. 

Makna setara tentu saja tidak hanya sekedar kesamaan derajat martabat. Akan tetapi kemampuan fisik, pemikiran, pekerjaan, hubungan sosial dan masih banyak lagi yang lainnya.

Tentunya kesetaraan ini tidak bisa hanya sekedar dimaknai kesetaraan derajat saja atau hak. Baik derajat maupun hak tentunya hak apa yang dimaksud dan derajat tentu harus dirinci terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hal tersebut dan apa yang dituju dan apa yang akan difokuskan. 

Menjadi orang yang setara tentu haruslah ada upaya yang harus dilakukan. Tidak semata-mata langsung setara begitu saja. Seperti seorang atlet dengan orang biasa, apakah Ia bisa disetarakan. Tentu ini adalah hal yang konyol jika ia yang bukan atlet namun menantang sang atlet untuk menantang berlari. Bukannya menang justru Ia hanya mendapatkan kekalahan telak. Tentu jika ia ingin menang tidak hanya sekedar diberi ruang saja akan tetapi, kemampuan, kemauan, usaha, fasilitas, juga harus ada.

Apakah wanita harus disamakan dengan laki-laki? 

Ini yang menjadi pertanyaan mengenai, apakah setara itu memiliki konotasi kesamaan atau bisa juga dimaknai dengan keseimbangan. Namun apakah kesamaan itu harus dimaknai sama, apakah sama itu harus sama atau adakah sama yang berbeda namun tetap masih dikatakan sama. Bicara tentang kesetaraan ini tentu menjadi sesuatu ambigu dan membingungkan, dan entah bagaimana feminisme dalam memahami konsep kesetaraan ini.

Jika laki-laki dan perempuan itu sama lantas apa yang harus disamakan dan apakah semuanya harus disamakan. Tentu ini perlu sebuah kajian yang lebih merinci, mana yang sekiranya harus sama dan mana yang sekiranya tidak perlu disamakan. 

Antara laki-laki dan perempuan tentu ada bedanya dan ada samanya. Secara fitrah tentunya ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Namun sampai saat ini saya kurang mengetahui apa fitrah sosial laki-laki dan apa fitrah sosial bagi perempuan. 

Perbedaan kodrat laki-laki dan perempuan tentu tidak hanya dilihat dari segi biologis saja, akan tetapi secara sosial pun ada fitrahnya juga, seperti hati nurani menilai baik dan buruk itu adalah fitrah sosial yang mana Ia bisa dimiliki oleh setiap manusia. Mengenai fitrah sosial antara laki-laki dan perempuan ini jika dikaji secara mendalam besar kemungkinan ada titik pembeda. Jika kita lihat pola sosial antara laki-laki dengan perempuan sebenarnya ada perbedaan entah apakah itu disebabkan kondisi biologis ataupun lingkungan. 

Kaum feminisme tentu menentang yang namanya kontruksi sosial saat ini yang mana sosial menyudutkan perempuan karena perempuan tidak diberikan ruang publik dan tidak diberikan akses seperti layaknya perempuan. Namun apakah Ia harus kehidupan sosial perempuan itu harus sama seperti kehidupan sosial seperti lelaki pada umumnya.

Yang tidak disukai feminisme tentang kontruksi sosial tentunya mengenai patriarki yang mana banyak sektor itu dikuasai oleh laki-laki sedangkan perempuan hanya sekedar dapur kasur dan sumur. Bagi kaum feminis ini tentu tidak adil dimana perempuan pun ingin diberi uang dan akses seperti layaknya laki-laki. 

Jika laki-laki bekerja sementara perempuannya itu bekerja di rumah lantas apakah ini adalah sesuatu yang tidak setara. Lantas ini adalah sebuah ketidakadilan karena perempuan tidak digaji di rumah yang mana tentu pekerjaan rumah lebih melelahkan ketimbang kerja di kantoran. Kalau seperti ini jangan salahkan kontruksi sosialnya tetapi sistem perekonomiannya. Jika perempuan itu tidak digaji di rumah memang tidak ada perusahaan yang menggaji atau pemerintah yang menggaji. Apakah nafkah laki-laki terhadap perempuan itu dianggap bukan gaji, lantas apa maunya perempuan.

Jika bicara tentang kontruksi sosial yang dibentuk saat ini tentu kita harus melihat terlebih dahulu kontruksi berpikir antara laki-laki dan perempuan. Tentunya ini akan mempengaruhi struktur sosial yang ada. Mungkin mengenai kontruksi sosial ini tidak akan dijelaskan karena hal ini tentu butuh pemaparan yang panjang dan mendalam. 

Apakah sebuah kesetaraan itu adalah tujuan yang ingin dikejar oleh setiap wanita?

Ini yang membuat pikiran saya bertanya-tanya, mengenai apakah kesetaraan gender itu adalah cita-cita semua perempuan. Karena jika kita lihat kondisi saat ini memang ada banyak perempuan yang berada di sektor publik meski tidak semua. 

Saya rasa meski perempuan diberi ruang untuk bekerja maka perempuan lebih memilih untuk menjadi ibu rumah tangga daripada bekerja. Karena memang yang namanya bekerja pasti menguras tenaga dan pikiran apalagi dihadapkan dengan beban ganda tentu banyak perempuan yang tidak ingin setara dengan laki-laki karena masalah itu tadi. 

Selain itu bisa saja kontruksi berpikir perempuan tidak diciptakan untuk bekerja di ranah publik. Yang mana perempuan biasanya ingin pekerjaan yang tidak membuatnya lelah fisik, pikiran maupun emosi dan tentunya perempuan tidak semua bisa melakukan itu semua. 

Sehingga bisa dikatakan para feminis ini tentu haruslah mengevaluasi apakah Ia ingin berada di posisi seperti laki-laki atau tidak. Jika tidak maka jangan dipaksa untuk melakukannya dengan alasan mereka masih terpapar patriarki. Memang pada fitrahnya sebenarnya perempuan lebih senang menjadi seorang pengikut bukan seorang pemimpin. Meski sebetulnya ada juga perempuan yang mampu memimpin namun ini tentunya jarang. 

Kesetaraan ini bisa dikatakan bukan karena itu adalah semua cita-cita kaum perempuan akan tetapi itu adalah cita-cita kaum feminisme. Atau mungkin itu adalah cita-cita semua perempuan namun belum tersadarkan. Keduanya bisa saja Ia. Tidak semua wanita ingin menjadi wanita karir dan lebih nyaman menetap di rumahnya.

Setelah setara apa yang mau dilakukan?

Kalau saat ini perempuan akses pendidikan bagi perempuan itu sulit, mungkin saja tidak. Kalau misalnya akses pekerjaan bagi perempuan itu sulit mungkin saja tidak. Kalau misalnya ada perempuan yang mengatakan bahwa segalanya sulit bagi perempuan terutama dalam hal akses apakah semua perempuan mengalami hal tersebut. Inilah logical falancy yang mana meganggap ketika ada perempuan mengalami penindasan mala menganggap bahwa semua permasalahan perempuan itu sama dan problem ketidak kesetaraan itu dialami oleh semua perempuan. 

Entah saat ini apa yang akan dituntut oleh perempuan, ketika laki-laki dan perempuan itu setara. Ketika semua perempuan boleh bekerja di ruang publik, ketika semuanya sudah merata. Bahkan saat ini wanita yang bekerja masih saja mengeluh dengan alasan tidak diapresiasi, kemudian setelah setelah diapresiasi mengeluh lagi karena lelah bekerja, setelah lelah lebih baik berhenti dari pekerjaan dan jadi ibu rumah tangga saja, kemudian jadi ibu rumah tangga lelah dan akhirnya terus-terusan seperti itu tidak ada henti-hentinya. 

Kesetaraan ini sebetulnya menuntut dunia yang sempurna. Entah seperti apa kesetaraan yang sempurna itu. Sampai kapanpun sebetulnya kesetaraan itu tidak akan pernah terwujud dan feminisme terus-terusan menuntut kesetaraan itu, kira-kira mau sampai kapan seperti itu. Tidak ada namanya dunia yang sempurna yang bisa dilakukan tentu saja syukuri apa yang ada jika ada yang mau dirubah maka rubahlah. 

Jika memang pernyataan saya ini salah, mohon maaf. Namun hanya satu hal yang ingin saya tanyakan dan itu harus disepakati oleh semua perempuan yakni "apa maunya perempuan". 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Struktural Keorganisasian Kampus

(Dokumen Pribadi) Jika kamu adalah anak kuliah tentu pasti sudah tahu apa itu organisasi kampus. Mungkin ada sedikit perbedaan antara organisasi kampus dengan organisasi lainnya. Jelasnya organisasi kampus tentunya diisi oleh mahasiswa dan tentunya pola pikir keorganisasian dan tujaunnya berbeda dengan organisasi diluar kampus. Organisasi kampus sendiri terdiri dari dua macam, ada organisasi intra kampus kampus dan organisasi ekstra kampus. Organisasi kampus ini seberulnya hampir mirip dengan sistem kenegaraan kita seperti eksekutif, legislatif dan partai politik. Organisasi kampus ini, bisa disebut juga sebagai miniatur negara, untuk lebih jelasnya saya akan jelaskan dibawah ini:  Organisasi Intra Kampus Definisi organisasi intra kampus sendiri ada di dalam aturan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi (PUOK). Secara singkatnya organisasi intra kampus ini berada di bawah naungan kampus. Orga...

Antara Alam Pikiran dan Alam Realitas

Pernahkan kamu berfikir? Ya tentunya semua orang di dunia ini melakukan segala aktifitas dengan berfikir kecuali pada saat tidur dan pingsan. Hal yang unik dari manusia adalah manusia berbeda dengan fikirannya hewan. Hewan hanya berfikir berdasarkan insting naluri berfikirnya jika ada hewa-hewan cerdas seperti lumba-lumba dan  simpanse, mereka tentunya harus dilati terlebih dahulu. Tanpa dilatih mereka hanya hewan biasa walaupun di katakan hewan cerdas pun pemikiran mereka tetap saja tidak bisa berkembang. (Pixlab.com) Manusia tentunya memiliki kelebihan dibandingkan dengan hewan lain yakni pikiran, dengan pikiran manusia bisa melakukan hal yang sulit menjadi mudah, membuat hal yang kreatif dan inovatif, berimajinasi, berlogika, mempelajari hal baru dan masih banyak yang lainnya. Sejauh ini peradaban diciptakan oleh manusia dari masa-masa, manusia mempelajari hal baru dan ilmi-ilmu baru. Berbicara tentang pemikiram ini tentunya adalah hal yang unik, karena setiap orang memiliki tin...

Buat Apa Kita Belajar

Pertanyaan ini sebetulnya adalah pertanyaan yang kurang kerjaan, tetapi memang perlu kita pikirkan bersama. Memang sudah jelas tujuan belajar adalah menjadi orang yang pintar. Tetapi menurut saya itu bukan jawaban yang tepat. mengapa itu bukan jawaban yang tepat, karena kita harus lihat dulu tujuan dari belajar itu sendiri. Jujur saya orang yang senang belajar tetapi saya kurang suka pelajaran di sekolah, karena orientasinya hanya sekedar nilai. Mungkin ini tidak sesuai dengan stigma masyarakat. (Pixabay.com) Kita tentunya harus mengubah tujuan dari belajar. Jika kita belajar rajin mengerjakan PR, rangking satu, ujian selalu baik tentunya itu adalah anak yang pintar. Padahal itu bukan orang yang pintar, tetapi dia hanya ingin dipandang baik masyarakat (sekolah) makanya harus rajin agar dipuji oleh banyak orang. Jika kamu merasa puas ketika dipuji karena rangking satu tentunya sangat puas. Tetapi puasnya hanya cukup disitu saja. Setelah ia puas maka ya sudah pelajaran yang telah lalu di...