Langsung ke konten utama

Bagaimana Common Sense Masuk dalam Pikiran Kita

Objektif Social Situation

Kondisi objektif hidup pasti akan mengalami sesuatu. Itu namanya experience. Experience itu ditelaah secar sadar dan dia akan melahirkan wawasan dan dari wawasan itu akan lahir aksi. Kita hidup di dunia sosial yang serba disiplin dan mengalami hidup serba disiplin. Kita tentunya akan menelaah itu dan membentuk aksi. Aksinya pasti di dunia sosial lagi. Maka hidup disiplin ala mililiter jadi menjadi common sense bagi kita. Common sense cara berpikir yang sehat dan normal itu seperti disiplin ala TNI. 

Berbeda kalau misalnya seorang seniman yang hidupnya semaunya. Itu cara berpikir, berperilaku, bertindak pasti berbeda, karena kita mengalami menelaah dan mendapat pengetahuan lalu bertindak berdasarkan lingkungan objektif sosial. 

Orang Jawa itu menekankan pada harmoni, kerukunan, ketertiban, yang penting tidak ada pertikaian. Maka dulu orang mengenal Jawa itu orangnya ramah-ramah. Bukan berarti Ia ramah akan tetapi malas bertengkar. Yang ditekan dahulu bukan problem solving tetapi perdamaiannya. Dan itu diterapkan pada masa Soeharto, dia tidak kuat melihat banyak orang bertikai, konflik dan dia menanam bom waktu dengan itu. Coba bisa diatur terlebih bagus mungkin tidak akan terjadi ledakan. 

Bagi orang Jawa yang penting adalah stabilitas. Ada instabilitas itu harus cepat-cepat dimatikan. Karena pasti yang dibayangkan stabilitasnya. Dan generasi didikan orde baru dengan era reformasi berbeda. 

Satu-satunya yang idak bisa diberikan oleh common sense adalah terobosan, padahal masyarakat butuh itu untuk naik kelas. Common sense itu sifatnya niscaya, setiap orang pasti dibentuk oleh lingkungannya dengan common sensenya sendiri-sendiri. Tetapi setiap orang tidak boleh menyerah dengan common sense, dia harus membuat common sense. Tidak selalu jalan di sekeliling kita pas, tidak selalu relevan, tidak selalu benar, tidak sellau baik tentunya harus berani membuat terobosan. 

Selama ini disiplin ala TNI dibangunkan dengan peluit pasti tidak nyaman sehingga harus ada kompromi agar nyamannya sepeti apa. Jadi dengan common sense tidak bisa melakukan hal yang lebih baik lagi. Orang jadi cerdas jadi menonjol jadi tokoh ketika Ia tidak menerima begitu saja common sense, tetapi Ia membuat terobosan-terobisan baru. 

Kita memang bisa hidup common sense, tetapi jika kita menyerah dengan common sense.m kita hanya menjadi orang biasa. Setelah kuliah paling mencari kerja setelah mencari kerja nikah lalu punya anak setelah punya anak tidak berpikir apa-apa. Sejarah itu tidak berbicara tentang orang-orang awam tetapi sejarah itu tentang orang-orang besar. Maka kalau ingin menjadi sesuatu jangan gampang menyerah dengan common sense.

Mengapa terobosan itu tidak hanya diperlukan oleh kita yang menyadari tetapi juga diperlukan oleh masyarakat, karena masyarakat perlu naik kelas. Menurut August Comte itu bahwa masyarakat itu bisa naik level dari level mistik ke level teologis dari teologis ke positif. Tetapi itu sebagai contoh bahwa masyarakat tentunya harus berkembang jangan malah sad back. 

Dulu kita levelnya mistik menjawab persoalan dengan mitos dengan ideologi-ideologi supra natural. Kemudian datang agama maka teologis metafisik memiliki pijakan agama-agama. Kemudian datang sains cara berfikirnya positif. 

Tetapi kalau lihat Indonesia hari ini mengalami kemunduran, harusnya positif tetapi justru malah kembali mistik. Maka acara TV yang laku adalah acara TV dunia lain, film yang laku adalah film horor. Jadi kita cenderung ke mistik lagi kalau sakit pasti orientasinya ke dukun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...