Langsung ke konten utama

Kekeliruan Berfikir Feminisme

Mengenai sebuah paham feminisme, mungkin banyak yang menganggap feminisme ini adalah ideologi yang ideal untuk diterapkan. Terutama bagi kaum perempuan yang merasa tertindas oleh sistem patriarki yang kemudian feminisme ini menjadi sebuah jawaban bagi perempuan agar mereka berjuang demi kesetaraan gender.

Meski perempuan saat ini sudah banyak yang berada di ranah publik namun hanya sedikit yang berada di ranah publik. Hal ini karena adanya beban ganda ketika ia menikah sehingga mau tidak mau harus bekerja ekstra untuk melakukan hal itu semua hingga pada akhirnya mereka yang lemah akan berhenti ke ranah publik hingga akhirnya hanya menjadi ibu rumah tangga. Memang tidak ada aturan yang melarang wanita untuk berada di ranah publik namun sosial budaya patriarki saat ini memang terbilang masih melekat.

Perempuan saat ini berada di dua kesadaran yang berbeda. Di satu sisi ia sadar bahwa ia adalah wanita lemah dan di satu sisi ia sadar bahwa dunia publik merupakan dunia yang keras sehingga hal ini yang mengurungkan niat perempuan untuk berada pada ranah tersebut. Memang untuk menyadarkan ini semua sangatlah sulit serta butuh proses yang panjang.

Jika menyorot pada paham feminisme sebenarnya ada yang kurang dengan paham feminisme. Dimana feminisme ini justru menjadi sebuah ideologi fanatik dimana selalu menyalah-nyalahkan pihak pria yang selalu menjadi superior menganggap semua pria itu salah. Yang kurang disukai pada paham feminisme ini karena pahamnya yang terlalu subjektif, selalu memandang sesuatu dari perspektif ideologinya sendiri. Padahal pria sendiri pun juga tidak mengetahui mengapa sistem seperti ini berjalan begitu saja. Memang ada sebuah faktisitas yang tidak bisa kita hindari, kita terlahir sebagai perempuan atau laki-laki sudah di setting sedemikian rupa. Perempuan tidak bisa menyalahkan laki-laki ketika ia mendominasi karena fakta sosialnya seperti itu.

Mengenai faktisitas ini apakah ia bisa dirubah? tentu saja bisa namun sayangnya kaum feminisme ini terlalu terburu-buru dalam sebuah pergerakan. Ia mendorong perempuan untuk terus bekerja dan bekerja kemudian ia harus mengejar cita-citanya yang akhirnya sebuah ideologi feminisme ini menjadi sebuah pemaksaan. Menjadi sebuah pertanyaan bahwa apakah menjadi feminisme itu harus bekerja dan bergerak di ranah publik. Bukankah tidak semua perempuan ingin berada di ranah publik dan bahkan mungkin ia lebih nyaman untuk bekerja di rumah. Jangan sampai pikiran feminisme ini menyalahkan kaum perempuan yang tak mau mengejar karir dan memilih jadi ibu rumah tangga.

Jika menjadi feminism kemudian terus harus bekerja di ranah publik ini tentunya adalah pemahaman yang keliru. Jika ingin bekerja di luaran sana silahkan namun jika ada perempuan yang hanya ingin menjadi ibu rumah tangga juga jangan dicemooh karena setiap orang punya kebahagiaan dan pilihannya masing-masing. Alasannya lebih memilih ibu rumah tangga karena ya tadi dimana memang yang namanya dunia pekerjaan itu begitu keras. Kalau sudah masuk dan terjun ke ranah publik maka tidak peduli apakah dia perempuan atau laki-laki yang ada yakni siapa yang kuat maka dialah yang bertahan.

Sebenarnya memang tidak semua perempuan ingin menjadi feminisme atau dalam kata lain menjadi perempuan yang serba mandiri dan menjadi wanita karir. Pada hakikatnya tabiat perempuan itu sebenarnya senang bergantung pada seseorang, ia lebih senang mengikuti daripada menjadi pemimpin atau ia lebih senang menjadi makmum ketimbang menjadi seorang imam. Bukan berarti perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, perempuan sangat bisa untuk menjadi pemimpin namun kita lihat lagi tidak semua wanita ingin menjadi seorang pemimpin. Tentunya menjadi seorang pemimpin memiliki beban psikis yang begitu berat, perempuan itu peka, emosional dan perasa. Sehingga ketika dihadapkan sesuatu yang membutuhkan mental yang kuat serta dihadapkan berbagai permasalahan apakah ia bisa menghadapinya secara rasional tanpa menghadirkan rasa emosional. Tentu hal tersebut sangatlah sulit dan tidak semua perempuan bisa melakukan hal tersebut.

Kemudian timbul pertanyaan mengenai kesetaraan masa kini. Sebenarnya apakah benar jika perempuan tidak mendapatkan akses untuk ke ranah publik atau justru sebaliknya perempuanlah yang enggan ke ranah publik. Kaum feminis tentu akan beranggapan bahwa perempuan tidak maju karena sebuah akses, namun sebenarnya itu tidaklah cukup karena selain adanya akses jalan tentu harus ada kemauan dari perempuan itu sendiri. Jangan hanya menyalahkan sebuah aturan hukum, sosial maupun budaya jika memang ada kemauan maka bertransformasi lah jangan beralasan ada kendala ini dan itu. Bagaimana pun sebuah hambatan atau halangan pasti akan selalu ada, namun yang menjadi pertanyaan apakah ketika ada sebuah tembok menghadang lantas berhenti disitu saja atau mau membobol tembok tersebut. Semuanya tergantung pada diri perempuan jangan hanya menyalahkan keadaan. terlalu banyak menganalisis dan menyalahkan keadaan tentu tidak akan merubah apapun terutama n]bagi kaum perempuan.

Bagi kaum feminis jangan hanya mengkaji feminisme ini dari sisi masalah dan hambatan saja tetapi juga harus ada jalan solusi serta strategi dan langkah apa yang perlu dilakukan. Jangan hanya menggerutu mengenai dunia yang tidak adil bagi perempuan, jika memang merasa tidak adil dunia ini bagi perempuan maka wujudkanlah. Dunia tidak akan pernah paham isi kepala wanita jika wanita itu hanya berpikir tanpa ada sesuatu yang diubah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...