Langsung ke konten utama

Cirinya Common Sense

Cirinya common sense yaitu: 

Pengetahuan sejak awal

Mungkin guru pertamanya adalah ibu. Makan harus pakai tangan kanan, harus cium tangan itu sebetulnya menanamkan common sense. Ini adalah pengetahuan-pengetahuan yang akan menjadi intuitif masuk bawah sadar yang menyusun bawah sadar dalam hidup yang menyusun benar dan salah dalam hidup. Terkadang kita melakukan seperti ini menjadi tidak enak, kalau misalnya sudah menghargai orang tua kalau misalnya tidak dihargai akan ada perasaan tidak enak. Ini adalah local wisdom. 

Sebenarnya ada juga common sense yang sifatnya tidak logis kemudian dipertanyakan ada juga common sense yang dianggap bertentangan dengan nilai. 

Kemudian dengan common sense itu kit berkomunikasi dengan masyarakat. Kalau di Jawa seperti di Yogyakarta common sense di bulan suro jangan menebang pohon, memang tidak tahu logikanya bagaimana tetapi itu adalah common sense. Kalau mencoba melarangnya jangan-jangan itu adalah benar. 

Sama seperti di masyarakat banyak tidak logis. Seperti misalnya angka 13 itu adalah angka sial, di masyarakat kepercayaan itu berkembang sehingga banyak hotel-hotel yang dilantainya atas tiga belas itu biasanya diloncati. Karena mungkin dia takut kalau ada lantai 13 orang tidak mau tinggal di situ, karena ada public opini meskipun tidak logis bahwa lantai 13 itu pembawa sial, yang tinggal di situ nanti akan mendapatkan kesialan. 

Tetapi itu kita berkomunikasi dengan masyarakat dengan hal-hal seperti itu dengan logika-logika common sense ini. Itulah yang sering membuat berat, terkadang kita berpikir mengapa seperti ini masyarakat mengapa tidak logis, mengapa tidak pas. Seperti orang indonesia sekarang karena susah terus membayangkan enak zaman Soeharto dulu, padahal sudah mencaci maki habis-habisan tetapi sekarang ad trend mengarah ke sana lagi. Ada common sense lagi, sesusah-susahnya zaman Soeharto merasa lebih susah sekarang. 

Isinya common sense itu agama, mitos, ideologi, filosofi, pengetahuan lokal, bahkan seni lokal tersusun dari semua itu. Bisa dilacak mengapa orang jawa percaya suro, wage, kliwon, karena ia punya energi semacam itu memiliki mitologi semacam itu memiliki ideologi filosofis sendiri. Ia punya logika sendiri memiliki ideologi sendiri dan itukan sudah dididikkan kepada kita. 

Sejak kecil misalnya disuruh puasa pada saat weton, dalam agama mungkin tidak ada itu lokal pastinya, karena orang arab idak mengenal sabtu pahing, minggu wage dan itu khas memiliki kebijaksanaan lokal sendiri. Jadi bukan ulang tahun yang dipahami oleh orang Jawa akan tetapi yang diketahui adalah selapan dan itu khas. 

Terakhir di antarannya ciri common sense itu biasanya diterima secara tidak kritis, krena sifatnya intuitif dan ditanamkan sejak kecil. Jadi apa yang diomongkan, gaya berpikir, itu sebenarnya ditanamkan oleh sekeliling kita. Lingkungan itu bermacam-macam, yang membentuk common sense di sekeliling kita itu orang tua, sekolah, teman, organisasi, lembaga dan macam-macam. 

Untuk memberi contoh common sense itu seperti goyang kepala kalau di India, orang goyang kepala itu artinya itu tetapi di Indonesia artinya tidak. Mengenai common sense ini secar spesifik kita tidak pernah kursus tetapi itu jalan saja di sekeliling kita. 

Kalau bagi Plato mendefinisikan common opinion jadi persepsinya orang banyak make in the street. Tetang satu objek yang dicerna oleh subjek yang sifatnya sederhana. Untuk hal yang rumit biasanya common sense perlu berpikir panjang dan perlu didiskusikan. Common sense itu kebanyakan hal-hal yang sederhana atau hal-hal yang selama ini berjalan seperti itu dan tidak perlu dibahas lagi. 

Plato setuju ada jenis pengetahuan seperti ini tetapi bagi plato ini adalah pengetahuan yang paling rendah. Pengetahuan yang tidak kritis makanya dianggap sebagai pengetahuan yang paling rendah. Kalau Aristoteles menyebut sebagai sense komunis (pemahaman komunal). Jadi, semacam rasa sosial bersama kehidupan bersama. Sense komunis itu misalnya naik motor di perempatan ada anak kecil meminta-minta itu rasa sosialnya muncul kalau dilatih di masyarakat yang selalu toleran, saling mengasihi, saling gotong royong, mungkin kalau tidak memberi rasanya tidak enak. 

Tetapi ada juga kelompok masyarakat tertentu anak yang meminta-minta itu jangan diberi nanti manja, kalau dikasih malah mengemis terus. Orang yang dididik dengan pola A dan B itu menyikapi pengemis itu berbeda, Itu sense komunis. 

Jadi, pengetahuan praktis yang didapat dari lingkungan. Orang yang sejak kecil hidup di pondok, tidak boleh main HP itukan cara berpikirnya berbeda dengan orang yang tidak mondok yang diperbolehkan main HP. Sama-sama dewasa kemudian ke kota yang tadinya hidupnya serba tertutup melihat dunia yang terbuka cara menangkapnya pasti berbeda dengan orang yang sejak kecil hidupnya sudah terbuka. Ada rasa komunal yang didapat dari masyarakat awal yang begitu masuk ke masyarakat baru ini mengalami gesekan. Mungkin ini berubah lagi rasa komunal bisa berkembang, karena sudah lama di Kota yang awalnya tertutup kemudian karena sudah lama kemudian terbuka dan cara berpikirnya berbeda. 

Kita besar dengan rasa komunal itu maka setiap orang dalam menanggapi realitasnya bisa berbeda-beda. Ada Francois Bacon yang bilang bahwa keyakinan yang disebut common sense itu didapat secara induktif yakni didapat dari pengalaman diman ia tidak diajarkan. Kita mendapatkannya secara sendiri dari masyarakat. 

Misalnya tradisi lokal itu otomatis didapat misalnya ada tradisi lebih baik mati daripada malu itu adalah local wisdom. Orang tua tidak pernah mengajari untuk melakukan itu tetapi didapat dari pengalaman. Mungkin sekarang ada pergeseran-pergeseran itu juga dari induktif realitas. 

Tradisi-tradisi di Jawa misalnya sesajen, sedekah laut, sedekah bumi bagi orang Jawa sendiri itu didapat dari pengalaman. Membuat sesajen ternyata mendapatkan ikan banyak, korban sedikit maka besok akan buang sajen lagi. Orang jawa kemudian menyebut common sense itu biasanya disebu ilmu titen. Tidak pake logika tetapi pakai titen dititeni saja. Kalau mau hujan biasanya hawanya agak sumuk, itu adalah common sense dan kita sepakati bersama. Kalau mata kiri berkedip ada yang membicarakan kalau kiri jelek-jelek kalau yang kanan yang bagus-bagus. Kalau lebih memahaminya biasanya ada dalam primbon Jawa semuanya ada. 

Namun mengapa hal tersebut tidak populer lagi karena tidak bisa dikumpulkan secara induktif didapat dari pengalaman, jarang orang mempraktikkan itu lagi. Ketika orang tidak praktik itu meskipun dalam teorinya di buku-buku sudah ada maka tidak akan menjadi common sense lagi. 

Kalau dalam dunia filsafat dua tokoh besar Thomas Raigh dengan JP Moore. Katannya Thomas Raigh common sense adalah akumulasi pengalaman melalui pemahaman yang sederhana, dia adalah universal believe. Karena sifatnya sederhana, maka hampir semua orang setuju tanpa harus dipikirkan secara rumit. 

Kepercayaan keyakinan-keyakinan yang itu tidak peroleh secara rasional tetapi diperoleh dari pengalaman dan itu sifatnya simpel, sederhana, tidak harus dipikir pun biasa menangkap. Itu namanya adalah common sense. 

Common sense bagi orang Islam hujan adalah rahmat dari Allah. Kita tidak tahu rahmat seperti apa itu, tetapi secara common sense hujan itu adalah rahmat. Orang jawa menyebut hujan itu jawah tetapi para wali menyebutnya jawoh. Jawoh itu para wali mau menyebut ja'a rahmatullah. Makanya ketika hujan datang itu rahmat Allah itu jangan marah karena yang memberi hujan akan tersinggung. 

Kalau JP Moore cirinya dua, yakni pemahaman langsung dan kesadaran. Maksudnya kesadaran yakni manusia terlibat langsung dengan ilmu di kampus atau di kelas dimana kita terlibat. Kita mungkin merasa bahwa matahari itu terbitnya di timur, kalau diteliti benar mungkin tidak terlalu ke timur. Mengapa menyatakan terbit di timur karena keterlibatan dengan matahari itu selalu seperti itu. Seperti orang Islam menyebut bahwa kiblat itu di barat. Ketika Ia shalat di negara lain maka ia akan menganggap bahwa kiblat itu berada di barat padahal bisa jadi salah. 

Common sense ini melibatkan kesadaran ketika Ia hidup di Jawa. Jadi meskipun di pindah ke daerah lain tetap begitu. Orang Jawa kesadarannya adalah kesadaran insting. Ketika agama apapun masuk maka Ia akan dimistikkan, maka cerita wali-wali itu cerita tentang kehebatan dan karamahnya. 

Sunan Kali Jaga itu jadi wali tidak karena hapal Al-Quran, puasa, tahajud, namun hanya karena ia diam di pinggir kali. Makanya Ia meneliti membandingkan dua orang tokoh pembaharu agama di Maroko dan indonesia. Tokoh di Maroko yang bernama Liung Shi ini wali penyebar agama, perjuangannya luar biasa, dakwahnya luar biasa. Bandingkan dengan sunan Kali Jaga yang hanya sekedar diam di Kali. Mengapa yang menonjol adalah orang Jawa karena logika orang jawa adalah logika mistiknya. 

Kalau ada orang yang bisa melakukan hal yang luar biasa banyak yang langsung percaya. Kalau ada ramalan bintang mesti itu diyakini bahwa itu takdirnya. Itu sebenarnya logikanya sama seperti orang Jawa. Dan itu hidup kita sehari-hari common sensenya serba mistik. 

Enstain memiliki definisi unik yakni common sense itu koleksi praduga yang kita kumpulkan sampai umur 18 tahun. Jadi kalau usianya sudah di atas 18 berarti common sensenya biasanya sudah lengkap. Mengapa harus 18 tahun karena itu dianggap sebagai puncak kematangan. Usia 18 tahun itu biasanya sudah memiliki gaya berpikir. Kalau irang yang sudah usia 18 tahun pikirannya kaku pasti sampai tua pun akan kaku dan diubah pun juga sudah sulit karena sudah penuh isinya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...