Langsung ke konten utama

Mengapa Revolusi Selalu Mengalami Kegagalan

Mengapa revolusi-revolusi yang dilakukan banyak mengalami kegagalan, termasuk di Indonesia. Variabelnya banyak tetapi secara umum kata Gramci ada 4 alasan mengapa revolusi sosialis itu banyak yang gagal. 

1. Fenomena Kaisarisme

Nanti fenomena ini akan melahirkan kaisar baru penguasa baru jadi fenomena ini lahir ketika pertarungan politik besar-besaran. Pertarungan perebutan kekuasaan yang melibatkan kekuatan sosialis dan kelompok yang tidak sosialis. Ketika pertarungan ini habis-habisan, dua-duanya menjadi lemah, dua-duanya sama-sama rusak nanti akhirnya pihak ketiga masuk dan dia akan mengambil alih kekuasaan. 

Jadi seperti di Indonesia ada pertarungan kelompok politik tidak disangka masuk tokoh alternatif kemudian menguasai segalanya. Itu adalah fenomena kaisarisme. Jangan disalahkan yang masuk, salahkan sendiri karena bertarus habis-habisan hingga pada akhirnya keduanya kalah. Jangan dikira sekarang pertarungan antar kubu itu menguntungkan semuanya, kalau tidak hati-hati keduanya melemah kehabisan energi dan pihak ketiga menguasai karena energi kita sudah habis untuk saling menjatuhkan. Jadi, jangan mau berkubu-kubu. 

2 Fenomena Bonapertisme

Ini terinspirasi dari Prancis. Napoleon itu perjuangan dari bawah sebenarnya, memanfaatkan kelompok ploretar. Hanya saja ketika Ia naik dan sukses teru jadi jendral Prancis bisa ekspansi kemana-mana akhirnya orang kecil ditinggal kemudian mulai main mata dengan kelompok borjuis.

Jadi, waktu perjuangan mengajak yang kecil tetapi begitu sukses merangkul yang elit sementara yang kecil ditinggal cukup membantu disaat susah. Itu merupakan fenomena Bonaperteisme. Orang kecil yang tidak tahu apa-apa dipanasi ikut berjuang, ikut turun perang, ikut turun demo pokoknya itu fenomena bonaparteisme. Ketika sukses dilirik saja tidak ganti sekarang yang dirangkul yakni kelompok elit. 

Kita orang kecil harus berhati-hati diperalat untuk kepentingan seperti ini. Mungkin Napoleon sekarang sudah tidak ada mungkin ganti nama namun fenomenanya sama saja. Jadi, harus berhati-hati. 

3. Fenomena Statulatori

Pemberhalaan negara banyak orang yang memberhalakan negara. Memberhalakan itu hidup matinya dipasrahkan seratus persennya ada negara, ini juga sering menjadi masalah. Seolah-olah kalau itu negara atau pemerintah tidak mungkin salah pasti selalu benar. Mungkin karena ada proses-proses hegemoni, proses-proses dominasi membuat orang tidak sadar bahwa Ia telah memberhalakan negaranya sendiri. Itu negara dan pemerintah sering tidak dibedakan pokonya nurut saja dianggap semua berjuang untuk kemaslahatan bersama, maka harus kritis. Kalau ada ini tidak mungkin revolusi akan sukses. 

4. Fenomena Minarkhis

Minarkhis itu adalah negara perannya minimal, negara itu posisinya hanya sebagai wasit, sistemnya liberal. Silahkan bertarung bebas, negara hanya jadi wasitnya. Itu memang terlihatnya adil tetapi menandingkan yang tidak kompatibel harusnya ada keberpihakan-keberpihakan pada yang lemah. Kalau negara hany menjadi wasitnya, yang terjadi maka yang menindas akan tetap menindas.

Jadi itu fenomena minarkhis negara minimal perannya meskipun di aliran-aliran civil society tertentu memang negara dituntut minimal. Itu kalau masyarakat sipilnya kuat kalau masyarakat sipilnya lemah ketika negara meminimalkan perannya kalau ada penindasan akan tetap berjalan. Yang berkuasa akan tetap berkuasa, yang bermodal akan tetap menang. 

Jadi kalau ada empat fenomena ini masih ada tentunya revolusi tidak akan sukses. Atasilah masalah-masalah ini sebelum melakukan revolusi. Dengan teori ini kita bisa melihat mengapa pemberontakan-pemberontakan itu gagal. Pasti ada satu diantara empat ini yang terjadi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...