Langsung ke konten utama

Kendali dalam Teknologi

Hari ini teknologi itu mengendalikan kita bukan kita yang mengendalikan teknologi memang ternyata kita dikendalikan oleh ciptaan kita sendiri. Undang-undang yang kita buat dan pada akhirnya membuat diri kita tersiksa sama teknologi juga seperti itu. Kita buat sendiri dan kita buat masalah sendiri dan yang terakhir realitas teknologi ternyata kebahagiaan yang ditawarkan oleh industri adalah kebahagiaan semu, karena tidak membawa manusia kepada pemilikan dan ketenangan melainkan membuatnya tergantung dari semakin banyaknya benda. 

Jadi, kita semakin banyak memproduksi produknya orang-orang modern ini semakin kita tergantung harusnya membuat kita tenang namun kenyataannya tidak. Kita semakin tidak bahagia, misalnya membeli motor terbaru bukannya semakin senang justru hanya membuat takut untuk dicuri, sampai-sampai melakukan segala macam cara agar tidak dicuri motornya, itu sebetulnya kan hanya membuat semakin repot. Justru malah tidak bahagian dan semakin khawatir. 



Ternyata modal produksi kita itu menjebak kita sendiri tidak perlu ada penjajah karena kita sudah dijajah oleh ciptaan kita sendiri. itu realitas masyarakat teknologi bahkan oleng bekerja. Bekerja itu kan seharusnya merealisasikan eksistensi diri atau memenuhi kebutuhan tetapi untuk memenuhi hasrat untuk konsumsi. Sebenarnya makan di warteg sama warung kopi saja sudah cukup, tetapi hasrat diri mendorong untuk makan di restoran dan kafe. Kita bekerja itu ternyata untuk memenuhi kebutuhan pokok tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan hasrat. Hasrat ini muncul dari rekayasa produsen, seolah-olah butuh. Misalnya merek pasta gigi mungkin isinya sama tetapi produsen kan pintar yang ini untuk pemutih, yang ini intuk penyegar, padahal isinya sama saja tetapi dipancing dengan akhirnya terjebak dalam hasrat untuk konsumsi. Sehingga harusnya orang itu mengaktualisasikan dirinya melalui pekerjaan ternyata pekerjaan yang justru memperbudak. Mengapa karena kita bekerja untuk mengejar konsumsi dan itulah permasalahan kita hari ini. 

Membayangkan bahkan kuliah, terus setelah kuliah kemudian bekerja dan targetnya untuk mendapatkan uang. Targetnya dalam bekerja tentu ingin membeli handphone baru, motor baru, pakaian baru dan lainnya berpikirnya terus-terusan seperti itu dan diperbudak oleh cara berpikir begitu. Jadi teknologi menjebak kita sekarang. Seperti l handphone itu tiap bulan pasti ada yang baru dan mau-maunya untuk membeli itu. 

Jadi, dan bahkan teknologi yang luar biasa itu tidak membuat sesama manusia semakin mendekat tetapi semakin terisolasi. Kita asik dengan dunia masing-masing. Kalau dulu sebelum ada handphone orang ketika ingin berbincang maka langsung bicara dan asik bersama. Tetapi untuk sekarang pada diam karena lebih fokus pada handphone. Kita ini saling terisolasi seolah-olah temannya banyak dibuat hanya saja di media sosial, dalam kenyataannya selalu sendirian. Di dalam media sosial namun ketika di dunia nyata tidak ada yang mengenalnya karena terkenalnya di media sosial. Karena tiap hari menggunakan filter sehingga antara asli dan kenyataannya itu jauh berbeda. 

Kita semakin tidak akrab semakin tersekat terisolasi sesama kita. Masyarakat industri itu cirinya dia dikuasai oleh prinsip-prinsip teknologi, prinsip teknologi itu memperlancar memperluas produksi. Hari i ni semua orientasinya mencari untung bahkan negara fokusnya ke sana. Memperbanyak produksi investasi mencari untuk dan diputar lagi. Jadi masyarakat industri, masyarakat teknologi. Kedua meskipun teknologi itu rasional tetapi secar umum kita tidak rasional. Masyarakat modern itu rasional dalam detail tetapi irasional secara keseluruhan. Handphone terbaru itu sangat canggih dimana itu merupakan hasil rasional dalam detail. Itu sangat rasional tetapi secara keseluruhan prosesnya itu tidak rasional, untuk apa dan secara fungsi bedanya apa dengan yang kemarin tetapi kan kita tidak peduli itu. Hidup kita mungkin seperti itu secara detail yang kecil kita rasional sekali tetapi untuk urusan yang umum kita tidak rasional. 

Tujuan hidup kita ke depan mau seperti apa visi misinya apa kedepannya. Untuk yang kecil kita rasional, urusan hp rusak, motor rusak kita detail sekali mengurusi urusan seperti itu tetapi yang besar kita apatis. Dan yang terakhir ciri masyarakat industri teknologi itu satu dimensi, dimana kita ini hidup dalam satu dimensi, yakni melanggengkan sistem. Sadar atau tidak sadar kit hari ini secara umum hidup kita melestarikan sistem yang sudah ada. Kita hanya hidup di satu dimensi disitu saja sistem, mempertahankan status quo. Sistem yang orientasinya produksinya saja tadi yang menipu besar-besaran kesadaran kita yang mengalienasi kita yang menindas kita sekarang itulah yang kita bersama-sama kita pertahankan. 

Kita sudah tidak kritis lagi, kita hanya manusia satu dimensi tidak bisa berfikir apakah ada alternatif-alternatif baru. Mungkin kita mengkritik kapitalisme, mungkin kita mengkritik sistem pemerintahan secara detail, tetapi secara umum arahnya masih satu yakni mempertahankan status quo. Jadi, mempertahankan sistem besar. 

Dan semua mungkin kita diskusi tentang kebebasan kemanusiaan otonomi hubungan sosial, ini semua kita diskusikan tetapi arahnya sebenarnya satu status quo harus jalan. Yang selama ini jalan tetap jalan. Yang mengkritik kapitalisme habis-habisan ditelan oleh kapitalisme. Mengkritik kemiskinan namun dibahas di hotel-hotel mewah. Sebenarnya kita sudah ditelan semua, susah keluar dari sistem besar ini karena sistim besarnya memang rancangannya satu dimensi, mempertahankan status quo. Maka ada dalam buku tulisannya Fukuyama itu judilnya The End Of History kapitalisme dan demokrasi itu sistem final sudah, sistem kita akhir zaman itu, tidak ada lagi sistem kecuali hari kiamat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...