Situasi semacam ini lalu solusinya bagaimana? Menurut marcuse satu-satunya kelompok yang bisa melawan kelompok, melawan sistem, itu yang muda-muda seperti mahasiswa, para cendekiawan kritis yang ada waktu untuk berfikir mengkritisi realitas. Disini perannya perannya kelompok intelektual. Jadi, harusnya intelektual itu memang perannya mengkritisi situasi sosial budaya untuk menunjukkan ada titik-titik lemah yang harus diperbaiki.
Jadi itu tugas kita apalagi bagi yang muda-muda. Kelompok intelektual inilah yang memiliki tanggung jawab kritis, karena merekalah yang memungkinkan, yang paling mudah untuk keluar dari sistem,yang tua agak susah karena tertelan oleh sistem tersebut.
Mereka yang bisa melawan status quo, mereka lah yang bisa melakukan penolakan secara besar-besaran. Yang lain mungkin bisa menolak namun tidak secara besar-besaran paling aspek-aspek tertentu, hal-hal tertentu tidak semuanya. Berbeda dengan yang muda, jadi yang muda mampu melakukan penolakan secara besar-besaran atas status quo.
![]() |
Nanti yang melakukan perubahan transformasi itukah yang muda. Kalau yang mudah sudah ditelan oleh sistem berarti zaman tidak akan berubah. Justru diawali dari yang muda akan terjadi transformasi perubahan sosial menuju kearah yang lebih baik dan bisa transformasi kalau sadar ada masalah dan mau berubah. Kalau masalahnya tidak sadar maka tidak mungkin bisa berubah.
Untuk paham masalah maka harus kritis mencari poin-poin lemahnya. Kepentingan satu-satunya tentunya transformasi e arah yang lebih baik. Kalau ada kritik karena kepentingan politik apalagi yang pragmatis itu sebetulnya sama saja itu sudah ditelan oleh sistem. Lakukanlah penolakan secara besar-besaran.
Kata Marcuse situasi itu seperti ini manusia modern itu seperti orang yang sedang naik bisa besar, bagus, jalannya enak, fasilitasnya lengkap. Para penumpang merasa puas akan tetapi tidak tahu tujuan mau kemana bis itu, bis berjalan sesuai mekanisme gerak mesin untuk terus maju padahal bis tersebut menuju jurang kebinasaan. Tetapi penumpangnya tidak sadar mengapa karena bisnya nyaman.
Naik bis itu tentunya harus tahu kemana tujuannya, jangan asal naik kalau misalnya ke terminal jangan hanya mencari bis yang bagus. Yang pertama harusnya mencari tujuan kalau hanya mencari yang bagus nanti kesasar. Saat ini kita ini seperti penumpang dalam bis yang tidak tahu bisanya mau kemana pokoknya bisnya bagus dan nyaman. Padahal kalau dilihat penyakitnya modern tadi jangan-jangan mau meluncur ke jurang. Nanti tiba-tiba meluncur ke jurang meninggal semua. Jadi, harus hati-hati jangan tertipu dengan kenikmatan naik kendaraan tetapi jelasnya bis tersebut mau kemana. Lebih baik bisnya tidak terlalu bagus tetapi tujuannya jelas dan tercapai.
Kalau bis memang bisnya nyaman dan bis sampai tujuan, tetapi tetap prinsip pertama harus ada tujuannya. Kalau jelas tujuannya maka tahap-tahapannya sudah jelas. Jadi ini di skala apapun harus hati-hati termasuk level individu sendiri. Jangan hanya mencari nikmatnya saja tanpa jelas tujuannya kemana. Jangan-jangan bis itu bukan organisasi besar tetapi individu sendiri.
Gagasan pikiran yang isinya hanya menerima kenyataan sebagai takdir yang tidak bisa dihindari itu sama saja dengan tidak ada gagasan apa-apa. Jadi kalau ada pikiran panjang menulis buku panjang lebar bisa saja isinya hanya sekedar menerima kenyataan apa adanya. Lah gunanya apa memang kenyataan sudah jalan diterima atau tidak diterima situasinya seperti itu isinya hanya menjelaskan kenyataan, karena tidak ada pikiran apa-apa.
Mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari biaya hidup mengejar kebutuhan hidup saja dia tidak akan hidup eksis sebagai manusia. Pikirannya pasti ditelan oleh kebutuhan hidup. Orang yang sibuk mencari uang itu dia tidak akan memiliki waktu untuk memikirkan humanitasnya bahwa dia adalah manusia kebutuhan-kebutuhannya sebagai manusia dia tidak muncul terlalu sibuk mencari uang.
Manusia hari ini itu mengidentifikasi dirinya, mengenali dirinya dalam prodak-prodak komoditas. Mereka menemukan jiwanya dalam mobil mereka, perangkat audio, rumah tingkat, peralatan dapur seperti di iklan. Merek baju apa, merek hp apa, merek laptop apa jadi kita identifikasi diri dengan komoditas komoditas yang dipakai itu bisa termasuk simbol-simbol agama. Kalau mau disebut sholeh harus pakai kopiah dan sorban itu simbol-simbol komoditas. Karena, tidak ditelan oleh sistem bahkan kata Marcuse "saya mengkritik kapitalis hanya saja idak ada narasi besar yang cocok dalam semua situasi termasuk kritik ku, saya mengkritik kapitalis tetapi jangan disambungkan dengan kapitalisme, Tidak semua problem pribadi itu pasti hubungannya dengan kapitalis" kritislah karena tujuannya kritis sadari masalahnya sendiri jangan naif jangan mandeg di masalah tapi cari problemnya apa cari solusi yang bagus dan wujudkanlah itu maulah berubah. Itu pesan besarnya Marcuse.
Komentar
Posting Komentar