Coba kita lihat fenomena politik saja hari ini banyak partai politik seolah-olah flatformnya macam-macam tetapi kenyataannya tidak ada partai satu dengan partai yang lain. Di Negara kita flatformnya partai macam-macam tetapi begitu urusan praksisnya yang flatform ini ternyata bisa bergabung yang harusnya tidak bisa ternyata bisa bergabung yang harusnya tidak bisa ternyata bisa. Ideologinya kelihatannya tidak sama, tetapi tetap bisa bergabung, mengapa karena sistem besarnya memang satu dimensi, melanggengkan sistem lama. Semua jadi mekanisme, kalau partai hanya mekanisme untuk mengumpulkan suara terbanyak. Jadi, platform tidak penting lagi hanya menjadi syarat untuk bisa daftar di KPU. Yang terpenting bagaimana dapat suara terbanyak meskipun harus berkoalisi dengan beda platform dan itu terjadi karena memang satu dimensi tujuannya politik hanya satu yakni kekuasaan.
![]() |
(Pixabay.com) |
Bahkan hari ini mau sosialisme ataupun kapitalisme sudah terlihat lagi bedanya. Seperti Cina katanya sosialis namun kemana-mana produknya milik Cina bentuknya sosialis namun pada praktiknya kapitalis. Jangan-jangan kapitalisme alat-alat jualannya sosialisme cara dia mempromosikan dirinya lewat media paham sosialisme jadi menjual sosialisme untuk dapat kapital, karena memang, sistem sekarang semuanya tunggal.
Yang waktu muda memiliki partai menggebu-gebu untuk mewujudkan visi sosialisnya, begitu berkuasa dia menjadi ideologi kapitalis, bagaimana caranya mendapatkan untung besar. Jadi, kita ditelan oleh sistem semacam ini sekarang.
Satu dimensi dalam ranah sosial ekonomi. Masyarakat hari ini ada luarnya ada dalamnya. Luarnya itu bagus sebenarnya karena sifatnya citra tadi ada beda luar dan dalam. Luarnya itu hidup kita sekarang nyaman dan lancar, mau apa-apa fasilitas ada tidak perlu capek-capek karena teknologi itu memungkinkan. Produktivitas naik, taraf hidup naik, temuan-temuan baru semakin membuat hidup kita efektif kesehatan, pendidikan itu semakin mudah.
Tetapi jika dilihat dalamnya yakni struktur sosial ekonomi itu sebenarnya awalnya adalah gagasan individu yang diterima oleh yang memiliki kuasa, kemudian dipaksakan kepada masyarakat yang itu mungkin baik pada sebagian masyarakat tetapi tidak bagus untuk sebagian masyarakat.
Jadi, awalnya seperti itu sistem struktur itu ada usulan gagasan oleh penguasa dianggap baik kemudian diimplementasikan. Ada yang usul bagaimana kota itu diberikan mall yang banyak mungkin membuat orang mudah terus disetujui terus dibangunlah struktur semacam itu. Mungkin baik dan bagus tetapi untuk sebagian tidak pas dan tidak cocok.
Kemudian masyarakat teraleniasi karena ternyata peradaban modern yang teknologi tadi fokusnya tidak mada manusia tetapi pada teknologinya. Terus struktur pasar harusnya pasar ini untuk memenuhi kebutuhan tetapi sekarang berubah alat untuk penguasaan dan pemerasan. Sekarang rajanya bukan orang yang orang memiliki kekuasaan tertinggi tetapi siapa yang menguasai pasar bahkan pemerintah sekalipun apakah itu eksekutif legislatif, yudikatif itu kalah oleh pasar.
Semuanya takluknya oleh pasar, pemerintah dia akan pontang-panting kalau pasar jatuh. Semuanya kuncinya ada di pasar dan akhirnya pasar ini jadi alat. Baik alat kekuasaan maupun alat pemerasan. Kita yang menjadi konsumen menjadi objek pemerasan habis-habisan oleh pasar. Kalau masuk mall itukan yang dilihat bukan sebagai manusia. Mall itu lebih suka melirik dompet kita ad berapa banyak uang yang ada di dompet. Semakin banyak uang maka orang akan semakin dihormati, tetapi kalau semakin tipis apalagi hanya sekedar jalan-jalan tentu tidak terlalu dihargai sebagai manusia dalam mekanisme pasar hari ini. Pasar hanya melihat punya uang berapa kira-kira apa yang bisa mereka ambil dari dompet.
Akhirnya kita dikuasai oleh produsen dan lahirlah namanya perbudakan sukarela. Istilahnya memang perbudakan tetapi memang senang diperbudak. Begitu sukses beli HP, motor laptop terbaru pasti bangganya luar biasa. Secara tidak sadar bahwa sebenarnya diperbudak, padahal mau barang lama atau baru sebetulnya sama saja hanya ganti merk dan harga saja, tetapi itu dibangga-banggakan. Sebenarnya itu mental budak yang memperbudak adalah pasar. Itu adalah satu dimensi di bidang sosial ekonomi.
Di bidang politik cirinya manusia satu dimensi ini totaliter. Pertama, Totaliter itu semuanya mau diatur semuanya ditata sehingga sering-sering melahirkan kontradiksi. Cita-citanya perdamaian tetapi belajarnya senjata, itu sebetulnya kontradiktif. Mengajak untuk berhemat tetapi juga menyuruh membeli prodak terbaru, padahal yang terbaru bisa lebih mahal.
Kedua, mengatur dan memanipulasi kebutuhan. Bagaimana kebutuhan itu diatur bukan karena kita ingin tetapi dibuat butuh seolah-olah itu penting. Biasanya oposisi dilarang, dihindari kalau bisa jangan ada oposisi padahal oposisi itu penting. Kalau tidak ada oposisi tidak ada yang mengkritik. Kalau tidak ada yang mengkritik, maka tidak ditemukan kelemahannya. Kalau tidak ditemukan kelemahannya maka tidak berkembang. Tetapi karena struktur satu dimensi ini ingin mempertahankan status quo akhirnya oposisi ini biasanya konotasinya menjadi negatif. Kalau ada musuh yang mengkritik kita bisa tahu kelemahannya yang mana, sehingga bis lebih berkembang lebih baik. Kita biasanya membenci orang yang mengkritik kita. Kita sukanya sama yang suka memuji kita. Semakin sering memuji semakin suka sama dia. Padahal kalau ada orang yang senang mengkritik kita, berterima kasihlah. Berarti, kita bisa berkembang ke yang lebih baik.
Ciri sosial budaya masyarakat satu dimensi yakni pragmatis. Pokoknya targetnya apa, tidak peduli prosesnya. Yang penting lulus cara bagaimana tidak penting. Manusia hari ini juga begitu kebanyakannya. Karena sifatnya pragmatis, maka biasanya kesadaran sosial, problem-problem dalam proses tidak terlalu menjadi perhatian, yang penting hasilnya. Mending kalau misalnya tidak ada masalah, tetapi di titik tertentu nanti akan muncul masalah termasuk tadi bahasa fungsional.
Problem bahasa fungsional itu juga harus berhati-hati karena sering membuat kita salah persepsi, karena didefinisikan secara berbeda. Bagaimana car berpikir kita terdorong jadi model kesadaran palsu gara-gara dunia modern.
Coba dilihat cara berpikir kita. Kita disuruh kerja. Hanya saja jangan salah, bekerja itu melelahkan dan tidak menyenangkan. Maka, kita butuh rekreasi. Sayangnya rekreasi itu butuh biaya mahal, kalau begitu maka harus menabung. Kalau sudah menabung kemudian rekreasi belanjakan atau buang uangnya kemudian bersenang-senanglah. Lalu ketika sudah habis, maka bekerja lagi. Saat ini kita disituasikan seperti itu, seolah-olah bagus namun tidak, ini cara berpikir yang menjebak kita. Maka namanya kesadaran palsu, bekerja tidak sesederhana itu kalau bekerja hanya untuk mengumpulkan uang lalu menabung dan rekreasi kita jadi mesin penghasil uang. Padahal bekerja itu ada dimensi eksistensial, dimensi untuk menunjukkan bahwa kita itu bisa jadi diri kita sendiri karena ada pekerjaan. Karena kita hidup dalam kesadaran palsu, akhirnya kita tidak menghasilkan apa-apa dari pekerjaan kita.
Komentar
Posting Komentar