Langsung ke konten utama

Counter Hegemoni dan Intelektual Organik

Negara integral itu adalah negara yang komplit. Kekuatan dominasinya dasyat, kekuatan hegemoninya juga dasyat. Negara ini juga melahirkan statolatori. Jadi, orang itu mau tidak mau pasti terus angkat topi, karena dia powerful sekali. Kemudian juga ada negara kedua yakni negara merosot. Negara merosot itu tujuannya tercapai, hanya saja apar pelakunya tidak merasa memiliki tidak merasa terikat dengan sistem. Atau negara minimal sudah tidak memiliki peran apa-apa lagi semuanya serba dikuasai semuanya serba diatur. 

Betapa dasyatnya hegemoni tadi tetapi dia juga ad kelemahannya. Itulah yang membuat  kita harus melakukan counter hegemoni. Inilah celah kita bisa melawan hegemoni. Misalnya celah yang pertama kelas penguasa itu pasti minoritas. Dari 200 juta rakyat indonesia jadi elit penguasa paling hanya beberapa saja. Selalu biasanya pengelola itu jumlahnya kecil. 

Oleh karena itu sebenarnya, real powernya itu tidak besar. Yang biasanya dilakukan itu adalah merangkul kelompok besar. Biasanya yang dirangkul kelas elit terus melakukan kompromi ideologis. Di titik ini hegemoni bisa terancam melalui kompromi-kompromi tadi. Karen kalau Ia sendirian maka tidak akan tangguh. 

Seperti misalnya partai itu selalu ada koalisi-koalisi. Meskipun terkadang flatformnya berbeda tetapi bisa kompromi. Karena jika Ia sendirian tentunya kecil minoritas. Jadi, kelompok yang menghegemoni itu adalah kelompok penguasa. Penguasa ini kecil sehingga Ia membutuhkan dukungan besar. Untuk mendapatkan dukungan besar maka harus melakukan kompromi. Itu adalah celah yang meruntuhkan hegemoni. Ideologi tadi sudah bukan harga mati lagi sekarang karen bisa dikompromi. 

Yang kedua dari kelompok ploretar biasanya memiliki kesadaran ganda. Kesadaran ganda itu karena memang orang kecil itu sering bingung. Mengapa sering bingung? Karena kelompok kecil ini sering diombang-ambing oleh gagasan-gagasan besar. 

Mereka sering kalah oleh ide-ide besar kelompok elit, kelompok borjuis. Mereka orang-orang kecil tidak memiliki waktu banyak untuk berpikir menjadi pintar. Sehingga tiap hari digempur oleh isu-isu luar biasa hingg akhirnya nurut-nurut saja. Di sisi yang lain dalam kehidupan real mereka memiliki kesadaran merasa kecil, miskin, lemah, dan gampang dibohongi inikan kesadaran di sisi berikutnya. 

Ini adalah dua kesadaran ganda. Ini celah juga bahwa meski masyarakat kecil sudah terhegemoni sedemikian rupa, masih ada celah untuk meruntuhkan hegemoni, menyadarkan mereka atas kondisi real mereka. Ingatkanlah bahwa kita selama ini ditindas meskipun tidak sadar. Itu sebetulnya mengingatkan kesadaran yang satunya. Meskipun berad pad kesadaran yang satunya, terombang-ambing hidupnya oleh konsep-konsep besar dari kelompok borjuis. 

Kita menuju masyarakat yang tertib, adil dan makmur, kita sedang menuju keadilan sosial itu sebetulnya adalah konsep-konsep besar yang membuat mereka bingung. Sehingga mereka terkadang disuruh mengalah, terkadang disuruh ini kepentingan orang banyak. Di sisi yang lain mereka juga berada pad kenyataan hidup mereka yang sengsara. Di situ sebetulnya ada dua kesadaran dan disitulah kita bisa masuk. 

Sama seperti elit penguasa tadi harusnya mereka menguasai dan menghegemoni. tetapi ada kepentingan bahwa mereka butuh dukungan mayoritas sehingga melakukan kompromi-kompromi tadi. Dua celah inilah kita bisa masuk dan melakukan counter hegemoni. 

Counter hegemoni itu kita lawan kita buat hegemoni tandingan versi kita. Daripada dihegemoni lebih baik kita yang menghegemoni. Sesuai dengan kepentingan kita dan kepentingan kita juga bagus. Nanti kalau kita sudah menghegemoni maka akan muncul counter hegemoni baru. Hidup memang seperti itu dan kita berusaha untuk menang. Harus berjuang untuk kepentingan masing-masing. 

Agak berbeda dengan habermas dimana menurutnya lebih oenting komunilasi rundingan dialog dan semua urusan beres. Namun menurut Gramci tidak sesederhana itu. Orang komunikasi membawa kepentingannya sendiri-sendiri, ketika orang berkomunikasi ingin saling menaklukan yang lain. Kalau di Habermas segalanya selesai dengan komunikasi. 

Urusan lancar kita sesama manusia harus berunding tetapi ini lanjutannya dari Gramci. Ruang publik itu tidak selugi itu hanya dengan komunikasi terus masalah selesai. Pasti ada kepentingan beragam disitu, saling mengobjekan dan saling menghegemoni. 

Untuk melakukan counter hegemoni, kita butuh aktornya dan buruk pelopornya. Siapa pelopornya? Yakni kelompok namanya intelektual organik. Intelektual organik itu adalah intelektual yang asli. Membahas kemiskinan ia pun juga terjun bagian dari masyarakat yang mengalami tentang kemiskinan. 

Ia tidak melihat kemiskinan secara tekstual atau definitif tetapi Ia organik, ia bukan intelektual pesanan. Lawannya intelektual organik itu intelektual tradisional. Kelompok intelektual tradisional itu kelompok intelektual yang terus menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi. Kemarin diajarkan apa maka besok akan mengajarkan seperti itu pula. 

Biasanya guru memiliki kecenderungan seperti itu. Filosof tertentu, ilmuan tertentu, seniman tertentu hanya melanggengkan status quo yang ada. Tidak ada dobrakan-dobrakan tertentu yang menghegemoni. Jadi tidak lahir hegemoni baru. 

Tetap saja kita menjadi objek hegemoni. Melanggengkan struktur melanggengkan sistem namanya intelektual tradisional. Nanti ada yang menyebut intelektual tukang. Tukang itu tergantung pesanan tetapi sebetulnya mereka tidak sadar bahwa mereka itu hanyalah pesanan. 

Ada yang lebih penting yaitu intelektual organik. Intelektual organik itu tidak hanya menjelaskan kehidupan sosial, tidak hanya membuat cerita buat tesis, skripsi tentang posting tantang pembebasan dan seterusnya. Tetapi mereka ini juga ikut bertanggung jawab juga memihak membela secara objektif masyarakat, berperan secara fungsional agar masyarakat tidak terhegemoni. Ini namanya intelektual organik, mereka tidak hanya melanjutkan gagasan lama yang sudah stabil. Tetapi juga menghindarkan masyarakat yang terhegemoni, mereka terjun langsung ke lapangan. Itu adalah peran kaum intelektual dalam gagasannya Granci.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...