Langsung ke konten utama

Standar Hidup yang Menyebalkan

Kalo bicara tujuan hidup, kesuksesan, dan apapun sesuatu tentang hidup ini pasti semuanya ada sebuah standar yang harus dipenuhi. Seorang pelari hebat Ia tentunya harus menjadi manusia yang sesuai standar dan lebih dari standar karena mana mungkin Ia hebat tanpa standar. Seorang ilmuan jika ingin diakui kecerdasannya oleh orang banyak, maka harus sesuai standar. 

Bahkan ketika sekolah kita selalu di sajikan berbagai standar hidup. Jika ingin menjadi orang yang pintar dan menjadi orang nomor satu dikelas maka harus sesuai dengan standar gurunya. Seorang yang ahli seni mungkin akan dianggap bodoh dikelas, karena tidak sesuai dengan standar kepintaran yang sudah ditetapkan, sebuah anggapan bahwa mereka yang pandai dalam segala hal itu lah yang hebat. 

Sebenarnya perlukan sebuah standar itu, seorang wanita yang cantik tentu akan dianggap cantik jika sesuai standar keumuman. Ia cantik bukan atas pengakuan dirinya namun dari pengakuan orang lain. Mereka yang tak sesuai standar haruslah mengejar itu semua. 



Standar itu sesuatu yang menyebalkan memang, hidup kita tidak bebas semuanya harus seperti ini dan seperti itu. Bukankah manusia itu mahluk yang berkehendak, jika ada dalam dirinya terdapat sebuah standar maka Ia sejatinya bukanlah manusia yang bebas. 

Manusi menciptakan standar, manusia menciptakan sistem dan manusia menciptakan standar hukum demi tercapainya sebuah ketertiban. Namun itu semua hanyalah kebohongan, dimana standar justru menjadi alat penindasan. Terlalu banyak aturan seperti standar pendidikan, standar pekerjaan, dan standar-standar lainnya itu semua justru membuat hidup menjadi sesak. 

Menjadi manusia yang pintar memang harus, namun apakah harus di standarisasi dengan angka, padahal itu hanyalah angka kebohongan. Orang mengejar standar bukan menjadi manusia semestinya namun yang terpenting Ia lolos dari ketidakbebasan standar tersebut. Tidak peduli seberapa banyak ilmu yang dimiliki, jika tidak memiliki ijazah maka dianggap percuma saja. Sehingga pikiran yang pragmatis, sekolah itu tujuannya untuk ijazah dan ijazah itu untuk menjadi pekerja. 

Apalagi standarisasi seseorang dalam dunia pekerjaan, membuat sistem di manapun pasti merujuk pada pekerjaan ini. Seorang yang belajar telah lama sekolah, pasti tujuannya bukan untuk ilmu namun pekerjaan, dimana pekerjaan ini mensyaratkan sebuah ijazah. Padahal tidak ada hubungannya antara selembar kertas dengan kemampuan bekerja manusia. 

Sebuah standar yang aneh memang bagi kelas bawah di beri standar hidup yang berat namun bagi kelas atas justru standarnya lebih ringan. Bukankah ini terbalik dimana mestinya semakin tinggi drajat seseorang maka semakin banyak pula standar yang harus dimiliki. 

Seorang yang hebat tidak akan menjadi hebat jika tidak memenuhi sebuah standar yang berlaku di masyarakat. Jadi seorang yang hebat adalah Ia yang mengikuti standar masyarakat, mereka yang melawan standar dianggap orang yang rendah. Sebenarnya di dunia ini tidak ad yang baik dan tidak ada yang buruk, tidak ada yang hebat dan tidak ada yang payah. Semuanya bisa ada karena sebuah standar, jika tidak danya standar sebenarnya manusia itu setara. 

Manusia yang hidup saat ini tidak seperti manusia yang semestinya. Manusia hidup dalam lingkup standarisasi, menjadi manusia yang terbelenggu dalam kehidupan sosial. Standar yang harus seperti ini dan seperti itu, tidak ada sebuah kebebasan berekspresi didalamnya.

Bukankah lebih baik bahwa standar itu berdasarkan hati dan kemauan diri. Karena standar di hari ini rasanya tidak memanusiakan manusia. Dasar dari standar manusia adalah moral yang tidak menindas, moral yang berasal dari nurani manusia. Saat ini hati manusia banyak yang mati karena ulah standar yang menindas itu. 

Manusia itu awalnya baik, selalu ingin berperilaku baik dan ingin melakukan hal-hal yang baik, namun karena ada standar yang menyatakan bahwa yang baik itu harus seperti ini dan seperti ini sehingga esensinya sebenarnya hilang. Hanya menyisakan sebuah kerangka dimana Ia hidup sebagai formalitas saja, tidak ada sebuah esensi hidup dalam dirinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...