Langsung ke konten utama

Ambiguitas Kesetaraan Gender

Sering kali kita mendengar sebuah kata kesetaraan gender. Di era modern ini kaum feminis menuntut adanya kesetaraan gender, mereka merasa bahwa perempuan mempunyai hak dalam melakukan sesuatu yang seperti dilakukan oleh pria, seperti bekerja di kantoran, di pabrik, mendapatkan pendidikan, dan lain sebagainya. Memang dulu perempuan sering dianggap komponen yang tidak pending dalam ranah sosial. Saat ini perempuan bangkit demi mewujudkan kesetaraan sosial. 

Namun, di sini perlu kita perhatikan mengenai kesetaraan gender tersebut.sebenarnya apa yang disetarakan oleh perempuan, jika ada yang disetarakan maka harus ada perbandingannya dengan lainnya. Bandingannya memang kesetaraan ini dengan laki-laki, seperti yang kita lihat laki-lakilah yang sering menonjol diranah publik dan sering dianggap orang yang penting. 

Kalau bicara kesetaraan gender berarti antara laki-laki itu sama. Namun sama dalam hal apa? Secara fisik jelas-jelas berbeda. Tentu saja yang disetarakan adalah gendernya sendiri, dimana jender ini lebih ke peran sosial seorang perempuan. 



Sebenarnya dengan menggunakan kalimat kesetaraan ini rasanya kurang cocok sebenarnya. Setara berarti seimbang, apakah antara laki-laki dan perempuan itu bisa dikatakan berimbang. Secara fisik jelas-jelas jauh, memang ada juga wanita yang lebih kuat ketimbang laki-laki tetapi jumlahnya sangat sedikit. Sedangkan secara psikis pun juga tidak bisa disamakan, laki-laki lebih berpikir logis sedangkan perempuan lebih berpikir feeling, memang laki-laki dan perempuan yang berkebalikannya juga ada, hany saja sedikit. 

Lalu apa yang disetarakan sedangkan laki-laki dan perempuan itu memiliki latar belakang yang berbeda. Jika perempuan ingin disetarakan, maka tidak ada yang namanya cuti hamil, melahirkan, atau haid karena laki-laki tidak mengalaminya. Jika yang disetarakan adalah status sosial, maka status apa yang disetarakan. 

Jika menginginkan sebuah kesetaraan, maka semuanya harus sama. Tidak ada keberpihakan apakah Ia seorang laki-laki ataupun perempuan. Bukankah feminisme ini lebih berpihak pada perempuan. Memang bukan lebih keberpihakannya ini berpihak agar perempuan itu sama di mata sosial. 

Kesetaraan ini sebenarnya menjadi sebuah ambiguitas sebenarnya. Dimana jika laki-laki dan perempuan jika di sama ratakan, maka akan terjadi ketidak seimbangan. Sesuatu yang seimbang tidak harus dimaknai sama, akan tetapi memberikan suatu porsi yang sesuai. 

Saya rasa bukan kesetaraan lah yang harus dikejar, kalau terlalu mengejar kesetaraan akan lelah dijalan rasanya. Seperti anak SD yang dipaksa harus memahami pelajaran anak SMP demi tujuan persamaan hak. Jelas-jelas ini bukannya menjadi setara justru malah membuat anak SD tersebut menjadi frustasi akibat mengejar ketidak sesuaian tersebut. 

Sama seperti gender ini jika perempuan terlalu ambisius terhadap apa yang terdapat pada pria karena keinginan untuk kesetaraan, maka ini sebetulnya malah menyiksa diri. Sebuah kesetaraan itu tidak melihat apa yang dimiliki tetapi apa yang harus dicapai. Jika tidak ada ketidak seimbangan antara kemampuan dan capaian maka yang terjadi hanya menimbulkan kerusakan. Maka, dari itu kita memang perlu aturan yang saling menyesuaikan. Antara laki-laki dan perempuan jelas-jelas berbeda juga aturan hukum pun harus dibuat berbeda. Melihat dari lata belakang dan kondisi dari orang tersebut. 

Daripada menargetkan sebuah pencapaian agar setara, lebih baik menargetkan kemampuan diri. Kesetaraan ini memang ada namun dicapai dengan kemampuan yang dimiliki, bukan menyamakan segala aturan. Memang seharusnya membuat segala aturan yang terpisah dan saling menyesuaikan. 

Baik perempuan maupun laki-laki itu sama sebenarnya tetapi tidak mesti disama-samakan karena keduanya berbeda tetapi jangan dibeda-bedakan. Sebuah perbedaan antara laki-laki bukanlah menjadi sesuatu yang saling bersebrangan seharusnya menciptakan sebuah harmonisasi, kooperatif, dan mutualis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...