Sering kali saya menyebutkan penciptaan sebuah nilai, dari mana asalnya bagaimana itu tertentu dan mengapa selera orang berbeda beda. Sebenarnya itu semua adalah sebuah ketiadaan, dari apa yang kita sukai dan senangi semua itu sebenarnya sesuatu yang tiada.
Lalu bagaimana saya menyatakan bahwa hal tersebut bahwa tidak ada jika dijelaskan jika tadi bahwa itu ada. Ingat sebenarnya itu semua ada karena diadakan bukan ada karena memang sudah ada. Bahkan manusia ada dari sebuah ketiadaan. Sebuah nilai juga sama dari tiada menjadi ada.
Manusia menilai dengan kacamata agama karena sebelumnya ada maka jika dulu agama tiada maka manusia berpandangan tanpa agama. Namun, bagaimana jika menilai sesuatu tanpa ketiadaan nilai, bukankah ini seperti memakan sup ayam namun ayamnya tidak ada.
![]() |
(Pixabay.com) |
Dalam menilai sesuatu, apakah nilai itu ada sebelumnya sehingga kita dapat menilai atau nilai itu muncul karena suatu fenomena yang ada. Semuanya sebenarnya pasti akan terhubung dimana fenomena yang saat ini terjadi akan selalu kita hubungkan dengan fenomena yang lalu. Jika tidak ada fenomena sebelumnya maka manusia akan menciptakan nilai itu sendiri pada fenomena yang ada meski sebenarnya bis kita sisipkan dengan mencocok-cocokkan dengan pemahaman yang lalu.
Kita memang perlu menghilang kan nilai yang sebelumnya ada untuk menciptakan sebuah penilaian yang baru. Hal ini demi melihat suatu fenomena baru atau yang sudah ada agar kita dapat menciptakan sebuah nilai yang berbeda, kita lebih mengedepankan fakta yang sebenarnya tidak hanya pendapat yang dipengaruhi oleh banyak orang. Semisal jika kita melihat orang afrika adalah orang-orang yang terbelakang maka nilai sebelumny haruslah kita hilangkan. Jangan hany memandang bahwa orang afrika itu dari sananya adalah irang yang terbelakang, tentu kita harus melihat fakta yang sebenarnya dan jika benar menganggap hal tersebut dapat terjadi.
Kita sering terpengaruh dengan nilai sebelumnya sehingga dalam memandang beberapa fenomena dianggap sesuatu yang sama. Orang jawa dianggap pekerja keras, orang batak dianggap keras, orang sunda dianggap lemah lembut dan semacamnya. Padahal tidak semua demikian memang itu bisa dikatakan mayoritas seperti itu atau mungkin kita salah mendengar dan memahaminya dimana rupanya pandangan kita terhadap orang lain itu salah.
Ketiadaan nilai bukanlah menghilangkan nilai sebelumnya, namun demi membuktikan sesuatu yang sebenarnya maka perlu mengesampingkan terlebih dahulu lalu membandingkan nilai terdahulu dengan nilai terbaru. Sebuah nilai baru tidak akan muncul jika nilai lama masih ada, karena ada juga orang yang diberitahu bahwa Ia salah namun Ia menganggapnya Ia adalah benar. Hal ini karena Ia tidak mengesampingkan nilai terdahulunya sehingga ketika Ia melihat sesuatu yang baru dianggap biasa saja, aneh dan bahkan salah.
Meniadakan nilai bahkan itu baik untuk diri sendiri, dimana sering kali kita menilai bahwa orang lain itu merasa lebih baik dibandingkan dengan kita. Apa yang ada dalam nilai diri selalu merasa tidak sebanding dengan orang lain. Tujuan hidup yang dimana menginginkan seperti orang lain namun karena merasa tak sanggup untuk meraihnya sehingga Ia menganggap rendah dirinya. Begitu juga dengan sebaliknya dengan orang yang berasa dirinya lebih baik daripada orang lain, menganggap bahwa dirinya jauh lebih hebat dibandingkan dengan orang lain karena Ia menilai bajwa dirinya itu bisa melampaui segala hal.
Mengapa manusia ingin cantik, mengapa ingin kaya, mengapa ingin populer karena ada anggapan bahwa hal tersebut adalah hal yang dinilai sebagai sesuatu yang baik dan menurut diri jika dilakukan adalah sesuatu yang baik, karena berdasarkan pemahaman dan penilaiannya kepada orang lain.
Padahal apapun itu yang di dunia sebenarnya adalah suatu ketiadaan, kaya adalah suatu ketiadaan, cantik adalah suatu ketiadaan, popularitas adalah suatu ketiadaan dan kekuasaan adalah suatu ketiadaan semuanya tidak abadi Ia diciptakan dan dibuat-buat agar terlihat bajwa itulah suatu kebahagiaan padahal tidaklah demikian. Banyak yang terjebak dengan hal tersebut dan pad akhirnya ketika mereka telah menggapainya justru bukan kebahagiaan yang didapat namun itu adalah sebuah kekosongan.
Kebahagiaan itu tidak dicari dan ditemukan di suatu tempat, namun Ia diciptakan dan di setting agar bahwa hal tersebut membuat bahagia dan menjadi sumber kebahagiaan. Ketergantungan pada nilai membuat manusia menjadi tidak bebas dalam melakukan sesuatu, ruang berpikir dan geraknya terbatas padahal manusia adalah makhluk yang bebas.
Kita harus berpikir ulang tentang nilai yang telah lalu, apakah masih relevankah untuk kita atau justru lebih baik dibuang saja, atau mungkin perlu adanya merevisi ulang tentang nilai yang sudah lalu. Memang sejatinya manusia tidak dapat lepas dari sebuah nilai selamanya, namun manusia bisa sejenak untuk melepas nilai itu. Ketiadaan nilai bukan berarti menjadi manusia yang bebas dari sebuah nilai, namun lebih mencari sebuah kebenaran yang ada, tanpa menggantungkan kepada nilai yang melekat pada sosial. Karena sebuah kebenaran tidak akan terungkap jika kita hanya melihat sesuatu ari sudut pandang yang bukan murni dari diri kita.
Merefleksikan diri, Introspeksi diri, dan mengevaluasi diri melepas semua nilai yang ada dimana hanyalah aku yang ada telanjang tanpa sebuah nilai dari orang lain yang berhak adalah diri sendirilah yang menilai. Untuk ke depan apa yang harus dilakukan, apa yang harus dituju, apa yang kita senangi, apa yang dibanggakan, itu semua hanyalah sebuah kefanaan manusia diturunkan ke alam dunia bukan untuk tinggal selamanya apalagi terlena terhadap kenikmatan dunia. Dunia hanya tempat lewat hidup kita, jangan sampai apa yang kita lakukan di dunia ini adalah sesuatu yang sia-sia.
Komentar
Posting Komentar