Langsung ke konten utama

Eksistensi Manusia Sebagai Manusia yang Bebas dari Nilai Sosial

Apakah manusia bisa menjadi manusia yang benar-benar bebas. Lalu apakah sebuah kebebasan itu, apakah kita dikatakan ada jika sudah bebas dari suatu belenggu. Apa yang telah membelenggu kita sehingga kita tidak bebas.

Memang masih menjadi sebuah pertanyaan apa itu kebebasan dan apakah itu sebuah eksistensi. Mengenai keberadaan kita apakah harus ada yang namanya sebuah nilai, dimana nilai ini melekat pada diri yang menyatakan inilah aku. Seorang artis apakah ia adalah orang yang eksis karena Ia terkenal dan banyak dikenal oleh orang banyak. 

Namun apakah banyak yang menyukainya karena Ia adalah arti lantas bahwa menyatakan bahwa ini lah aku. Tetapi banyak juga orang yang tak senang dengan popularitas, harta dan jabatan yang Ia miliki karena ia merasa tidak bebas. Ia merasa lebih baik jika menjadi orang biasa yang dikelilingi oleh orang baik. Memang tidak ada sebuah jaminan jika memiliki segalanya maka kita bahagia. 

(Pixabay.com)

Lantas mengapa mereka tidak senang dan mengapa ingin menjadi orang biasa-biasa saja. Bukankah itu yang diinginkan oleh banyak orang dan belum tentu semua orang dapat mencapainya. Apakah ini adalah perwujudan orang yang tidak bersyukur, sudah diberi kenikmatan malah tidak menyukainya. 

Memang sebagian orang terlahir beruntung namun merasa bahwa dirinya tidak bahagia. Hal ini karena adanya sebuah nilai seperti kekayaan, popularitas, kepintaran jabatan dan semacamnya itu adalah sebuah nilai. Sebuah kesenangan adalah sebuah anggapan bukan sesuatu yang benar-benar ada, Ia bisa diadakan maupun ditiadakan. Maksudnya adalah tentang penciptaan nilai yang dibuat oleh masyarakat yang menyatakan bahwa kebahagiaan itu seperti ini dan seperti ini. 

Sebuah nilai yang menyatakan bahwa kenikmatan dan kebahagiaan itu seperti ini dan itu memang sudah melekat sejak dulu. Padahal semua itu hanyalah sebuah kebohongan, diman kita tidak perlu itu semua jika bahagia. Kebahagiaan bukanlah apa yang harus dimiliki namun kebahagiaan itu dari pikiran dan perasaan. 

Sebuah kebahagiaan yang sejati adalah kebahagiaan tanpa nilai. Tidak ada yang melekat pada diri, tidak peduli orang lain menilai diri seperti apa. Memang sulit melepas diri dari sebuah nilai, apalagi bagi mereka yang masih mencintai dunia ini. Mencintai dunia tentunya Ia yang tidak bisa lepas dari sebuah nilai kenikmatan dunia. Padahal kita sudah diberitahu dalam agama bahwa kenikmatan dunia itu hanyalah sesaat. 

Lalu, apa hubungannya dengan eksistensi diri, bukankah eksistensi itu harus ada yang melekat pada diri. Semisal jika kita ingin terkenal maka harus punya segalanya, ini anggapan banyak orang. Namun, sebenarnya yang eksis itu bukan dirinya namun apa yang dimilikinya. Orang yang kaya karena punya mobil mewah sebenarnya yang hebat bukan dirinya namun mobilnya. Jadi, jika Ia tanpa mobil mewah, maka Ia bukan siapa-siapa sehingga dirinya pada dasarnya tidaklah eksis. 

Eksistensi itu bebas nilai, Ia harus terlepas dari penilaian orang meski memang manusia tidak lepas penilaian orang. Namun, kita cukup menegaskan bahwa diriku bukan seperti apa yang dinilai oleh orang lain dimana ada atau tidaknya manusia diriku lah tepat diriku. Seorang artis maka Ia dianggap eksis karena memiliki banyak fans dan terkenal, namun tanpa fans dan dikenal banyak orang maka Ia bukan artis sehingga Ia bisa dikatakan sebenarnya dia tidak eksis. 

Mengapa itu bisa terjadi, karena Ia masih menggantungkan dirinya pada orang lain. Orang yang eksis haruslah Ia menjadi independen, dimana ada atau tidaknya orang, dirinya tetaplah dirinya bukan menjadi orang lain di saat tidak terkenal dan menjadi orang yang berbeda ketika terkenal. 

Manusia yang berubah karena sesuatu seperti harta, tahta, popularitas dan semacamnya Ia bukanlah manusia yang eksis Ia justru seperti seorang bunglon yang sedang menyesuaikan lingkungannya. Ia tidaklah menonjol dibandingkan manusia lainnya Ia hany ikut-ikutan dan selalu ketergantungan. 

Selama orang menghubungkan diri kita dengan sesuatu. Misalnya lulus di universitas terkenal padahal, sebenarnya bukan dirinyalah yang terkenal namun universitasnyalah yang terkenal sehingga bisa dikatakan ia bukan orang yang eksis. Jika sebaliknya ada universitas terkenal karena dirinya maka dirinyalah yang eksis karena universitasnya bisa terkenal karena dirinya. Intinya dalam sebuah eksistensi siapa yang paling dominan dikenal. 

Manusia yang eksis bukan lah orang yang mengikuti nilai yang sudah ada. Jika manusia ingin eksis maka ia harus berhenti mengikutinya dan melepaskan nilai yang sudah ada. Lalu, menciptakan sebuah nilai yang baru dimana nilai tersebut memang mencerminkan dirinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...