Langsung ke konten utama

Mempertanyakan Sekolah Untuk Kesuksesan

Menjadi sebuah pertanyaan saat ini mengenai sebuah pendidikan, apakah pendidikan saat ini tujuannya untuk merubah nasib seseorang agar sejahtera atau hanya untuk menyejahterakan orang lain. Jika sekolah itu untuk menyejahterakan orang lain lantas untuk apa sekolah dan untuk apa bekerja.  

Setiap hari pembicaraan orang-orang pasti pembicaraannya tentang sebuah pekerjaan. Ketika lulus mau kerja apa, kerja dimana, gajinya berapa, dan pembicaraan lainnya. Jarang sekali orang berbicara tentang sebuah perubahan. Perubahan hanya dimiliki oleh mereka para kaum borjuis mereka memiliki modal besar dalam membuat suatu perubahan. Sedangkan bagi mereka yang tak punya modal, hanya sekedar pasang badan mereka terpaksa rela bekerja apapun.

Pendidikan bukannya membuat seorang anak semakin maju dan berkembang pemikirannya, namun justru pikirannya dimatikan. Dengan berbagai hapalan, sola-soal dan berbagai tugas harus dilakukan. Saya rasa itu hanyalah akal-akal saja, para guru yang mengajar hanya sekedar menggugurkan kewajibannya saja, masalah pintar atau bodoh itu urusannya dikembalikan kepada si anak. Mereka yang pintar adalah mereka yang nurut mengikuti apa perintah gurunya, ketika dewasa lalu menuruti apa kata bosnya. Disini tidak ada daya tawar yang kuat bagi pegawai, mereka lebih baik menuruti apa yang diperintahkan meskipun itu menyiksa dari pada dipecat. Pendidikan saat ini memang tidak jauh berbeda dengan sebuah industri. Mereka dicetak untuk agar bisa bekerja di perusahaan-perusahaan, diframing  untuk menjadi seorang pegawai. Hal ini tentu tak lain tanpa alasan dimana agar bisa menjaga produktivitas perusahaan.

Sekolah hanya untuk mencari ijasah karena itu menjadi syarat untuk berkerja, semakin tinggi pendidikannya dan semakin baik skillnya maka semakin besar harganya. Mereka yang gagal mana mungkin bisa memiliki harga yang bagus, sibuk mencari kerja kesana kemari dan pada akhirnya hanya menjadi pengangguran. Lalu untuk apa lelah-lelah belajar di sekolah, jika pada akhirnya ilmunya tidak bermanfaat.

Jika pendidikan seperti ini-ini saja, maka untuk apa adanya sekolahan jika tidak membawa perubahan dan tidak mampu menjadikan manusia menjadi manusia yang sesungguhnya, jiwa sosialnya kian lama kian menurun dan egoisme semakin meningkat. Lebih baik bubarkan itu sekolah untuk apa diadakan, hanya menghabiskan anggaran saja. Sudahlah berhenti untuk berharap bahwa sekolah itu bisa membuat seseorang sukses dan membuat diri kita sejahtera. Selama sistem pendidikan itu seperti ini-ini saja, maka kesuksesan yang ada bukanlah kesuksesan yang semestinya.

Di sekolah kita selalu dimotivasi bahwa semakin tinggi pendidikan maka semakin sejahtera. Sebuah ekspetasi pembodohan, apa lagi bagi para orang tua yang selalu berharap anaknya sukses lalu ketika dewasa nyatanya gagal lalu Ia punya anak dan ke dunia berharap kembali pada anaknya agar sukses. Seperti itu lah pikiran mereka, berharap anaknya berubah menjadi sukses namun tak pernah mau menjadi orang tua yang sukses. Pada akhirnya mereka secara turun temurun menjadi seorang pegawai. 

Kita harus berpikir ulang bahwa kesuksesan bukanlah mereka yang seorang pegawai dapat gaji besar, tunjangan dan segala kemewahan yang ada. Di sisi lain Ia mungkin sukses namun di sisi lain juga Ia menyengsarakan orang lain. Bukankah jika kita ingin kaya maka harus memperalat orang lain, apa lagi di dalam sebuah perusahaan, semakin pangkatnya tinggi maka semakin besar gajinya dan semakin mudah pekerjaannya. Namun jika mereka yang berada di susunan paling bawah tentu mereka mendapat bagian yang naas, gajinya tak sebanding dengan rasa lelah saat bekerja. Lelahnya bekerja bukanlah memperkaya diri sendiri namun memperkaya mereka yang berada di tingkat sosial yang paling atas. 

Pendidikan yang semestinya adalah pendidikan membawa sebuah perubahan, tidak hanya kepada dirinya atau kelompoknya namun bagi mereka yang kaum lemah. Terlebih mereka yang sukses mestinya adalah orang yang bisa membawa kemaslahatan. Kemudian menciptakan sebuah struktur sosial yang harmonis, berbeda-beda namun saling beriringan, bekerja dengan jalannya masing-masing bukan saling memperalat satu sama lain namun saling membantu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...