Langsung ke konten utama

Membeli Barang Sama Saja Merusak Alam

Kalau kita misalnya membeli sebuah barang mungkin kita hanya melihat barang tersebut dari mereknya dan dari spesifikasinya. Kita jarang mengulas bagaimana handphone itu dibuat, memang tidak terlalu penting jika kita tahu bagaimana prosesnya pembuatan smartphone, yang penting bisa pakainya. Namun sebenarnya yang perlu kita pahami adalah asal muasal handphone tersebut. Bukan dari pabrik mana ia diciptakan, namun dari mana asal bahan bahan tersebut. 

Memang komponen smartphone itu begitu rumit ada banyak puluhan bahkan ratusan bahan yang digunakan, dari mulai kaca, plastik, besi, tembaga, litium, karbon, nikel, emas dan sebagainya yang dimana mungkin tidak dapat disebutkan secara satu persatu. Kita tahu bahwa yang namanya handphone ini prosesnya tidak seperti tanaman yang tumbuh tiba-tiba. Apa yang ada dalam komponen smartphone, semuanya berasal dari bahan tambang.

(Pixabay.com)

Kita tahu bahwa tambang itu adalah sesuatu yang merusak, areal yang ditambang tidak tanggung-tanggung bisa sampai satu kota luasnya. Manusia memang seperti itu, rela merusak demi meraih keuntungan sebesar-besarnya. Padahal justru Ia malah merugikan dirinya dan sekitarnya. 

Orang-orang tolol membeli smartphone yang mahal dan bermerek, merasa bangga dengan apa yang dibelinya. Bangga dengan membeli barang tersebut, secara tidak langsung itu sama saja bangga untuk merusak bumi. Semakin banyak orang yang membeli barang-barang tersebut, maka semakin cepat kerusakan di bumi ini. Yang menggunakan bahan tambang tidak hanya smartphone saja sebetulnya, ada jutaan barang yang juga menggunakan bahan tambang. 

Tidak hanya dari bahan tambang, barang-barang yang terbuat dari bahan organik seperti kayu, daun, getah, buah, biji dan semacamnya juga sama-sama menyumbang kerusakan alam. Ratusan bahkan ribuan pohon itu ditebang atau di pupuk dengan bahan kimia agar cepat berproduksi, hal ini hanya demi permintaan pasar. Bukan hal aneh jika sering terjadi bencana banjir dan kemarau panjang, hal ini karena banyak hutan ikut digunduli dan tanah semakin kurang produktif. 

Dalam proses pembuatannya pun juga tidak habis pikir bahwa di dalam sebuah pabrik ternyata banyak yang menderita. Mereka bekerja dari pagi sampai sore bahkan malam, bekerja terus-terusan dengan gaji yang tak seberapa. Ditambah lagi lingkungan pabrik yang tidak baik bagi tubuhnya, merenggut waktu dan kesehatannya. Memang siapa yang peduli pada mereka, yang penting untung barang bisa terjual.

Dari proses pengambilan barang dari alam, sampai ke pabrik industri rupanya banyak menimbulkan kerusakan. Ditambah lagi minat pasar yang semakin menggila, orang-orang modern yang gandrung akan teknologi barang-barang tersebut laku terjual. Semakin barang itu cepat terjual habis maka semakin habis dan rusaklah alam kita. 

Apalagi ditambah dengan barang tersebut yang tidak di daur ulang, setelah bosan langsung dibuang begitu saja. Sampah-sampah yang berserakan di sungai dan jalanan semakin lama kian menggung, tidak hanya membuat banjir tetapi juga membuat lingkungan semakin tercemar, yang namanya barang-barang pasti terkandung bahan kimia. Air yang di konsumsi setiap hari tidak menutup kemungkinan bahwa di dalamnya terkandung bahan kimia berbahaya. Polusi udara akibat dari pembakaran pabrik, kendaraan ditambah lagi hutan yang gundul membuat kualitas udara semakin memburuk.

Teknologi yang kita anggap barang canggih yamg dimana membuat hidup kita semakin mudah  rupanya disisi lain telah merusak alam kita. Ketika rusak, mau tinggal dimana nanti kita, apalagi untuk anak cucu kita. Barang-barang yang dulu dianggap canggih rupanya tak mampu memperbaiki kerusakan. Mereka yang dulunya bangga dengan barang yang Ia miliki, kini hanya dapat menangis karana alamnya sudah hilang. 

Mau tidak mau memang kita harus sadar sedini mungkin, jangan sampai kita sadar ketika alam ini rusak. Tidak ada jaminan ada teknologi yang memulihkan alam ini, kalau sudah rusak maka sulit untuk diperbaiki. Kalau memang kita tidak bisa mencegah mereka merusak, setidaknya buat prodak mereka merugi, dengan cara tidak membeli. Banggalah jika alam ini terjaga dengan baik bukan bangga membeli barang bermerek. Bukan berarti membeli barang itu terlarang, namun yang tidak boleh adalah membeli barang secara berlebihan dan boros pemakaian. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...