Langsung ke konten utama

Filsafat Diri (Membentuk Jati Diri)

Dalam dinamika kehidupan ini kita dituntut untuk terus berjalan terus. Meski banyaknya sebuah rintangan yang menghalangi, harus tetap terus berjalan. Meski sudah berjalan sudah lama, namun tetao saja tidak menemukan sebuah tujuan yang pasti. Berjalan terus berjalan terkadang hidup ini datar-datar saja, berbelok ke arah kiri dan ke kanan namun tak menemukan sesuatu yang pasti. 

Bagi kaum muda khususnya selalu bingung, kemana arah yang dituju. mencari jati diri yang entah kemana dan dimana harus menemukannya. Mereka bingung mencari padahal aslinya di dalam diri. Jati diri itu sebenarnya dibentuk bukan dicari. Banyak yang keliru dimana mereka mencari jati dirinya diberbagai tempat, namun tidak menemukannya. Wajar saja mereka tidak menemukannya, karena jati diri itu tersembunyi di. dalam diri. Maka dari itu perlu sebuah cara dalam menumbuhkan jati diri yang ada di dalam diri. 

Setiap manusia di dalam tubuhnya sudah ditanamkan dalam dirinya sebuah jati diri. Namun memang tidak semua jati diri itu dapat tumbuh, hal ini kembali lagi kepada diri kita bagaimana cara menumbuhkan jati diri tersebut. Jati diri itu seperti sebuah bibit beda bibit maka beda dalam caranya. Maka dari itu, setiap orang harus tahu cara untuk menumbuhkan jati diri itu. Karena jika salah yang ada justru malam memperburuk diri. 

Jati diri itu bukan ditemukan namun dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan. Jika ada orang yang mengatakan bahwa Ia sudah menemukan jati dirinya di waktu dan ditempat seperti ini, sebenarnya itu adalah aktualisasi dari jati diri itu sendiri. Kebiasaan-kebiasaan yang semakin lama kian meningkat akan membentuk pribadi yang sejati. 

Namun tidak sembarang kebiasaan, kebiasaan yang sifatnya negatif bukanlah jati diri sesungguhnya justru hal tersebut justru merusak jati diri. Sisi gelap manusia yang jahat bukanlah diri sesungguhnya, memang itu bagian dari diri akan tetapi itulah cobaan, sebuah sisi negatif yang selalu menguji diri sendiri. 

Memang sulit dalam melakukan kegiatan yang membangun, itu tadi musuh kita adalah sisi yang negatif. Pertarungan antara sisi positif dan sisi negatif, siapa yang menang dialah yang menguasai diri. Mereka yang menang adalah sisi pribadi yang positif, menjadikan sifat positif selalu berkuasa tidak membiarkan sisi buruk berontak. 

Jika sisi positif ini sudah menang, maka tinggal memperbanyak sisi positif lainya serta meningkatkannya. Jangan melakukan kebiasaan-kebiasaan baru jika kebiasaan lama belum dibiasakan, orang yang layak menambah kebiasaan baru ialah irang yang sudah melatih kebiasaan lama menuju level konsisten. 

Ketika seseorang sudah konsisten dalam melakukan kebiasaan. Maka akan mudah melakukan kebiasaan baru lainnya. Kebiasaan-kebiasaan yang sudah tertanam pada diri memuatnya melekat semakin kuat, lalu Ia menuju level candu. Ketika kebiasaan menjadi level candu maka jati diri ini sudah terlihat. Kebiasaan yang sudah candu melekat pada diri lalu menjadi bagian dari jati diri. 

Semakin orang itu candu maka semakin terlihat jati dirinya. Dirinya tidak akan mudah tergoyahkan ketika ada yang menggodanya kepada hal-hal yang negatif.  Sebuah diri yang candu maka tidak menutup kemungkinan Ia bisa mempengaruhi pribadi manusia yang lainnya. Memuat mereka disekitarnya mengikuti langkah dan jejaknya, maka tidak heran banyak tokoh besar yang banyak diikuti karena memang pribadinya yang tidak hanya memiliki jati diri namun juga memiliki karakter yang khas, dimana orang biasa pun dapat melihat perbedaannya dengan orang lain. 

(Pixabay.com)

Ketika sudah membentuk jati diri yang sesungguhnya, maka jangan mudah puas dalam memahami diri. Ketika jati diri dibentuk maka akan ada banyak potensi dalam diri yang bisa digali. Tidak menutup kemungkinan memang banyak orang-orang yang berbakat itu memiliki berbagai kelebihan. Bahkan Ia bisa berpindah dari satu kati diri ke jati diri yang lainnya. Bukan berarti Ia berubah seperti bunglon, namun karena rasa ketidakpuasan, sehingga mencari hal-hal baru di dalam dirinya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...