Langsung ke konten utama

Kesadaran Palsu dalam Pendidikan

Mengenyam pendidikan selama 12 tahun menjadi sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap warga negara, namun sayang masih banyak rupanya yang tidak bisa sekolah tinggi-tinggi karena keterbatasan biaya atau alasan lainnya. Menjadi pertanyaan dalam pendidikan sampai saat ini, mengenai apakah pendidikan kita sudah bisa melawan kebodohan di negeri ini dan mensejahterakannya. Saya rasa ini masih menjadi PR panjang bagi negara kita, meski begitu tetap saja tidak ada perbaikan yang lebih maju. 

Yang diperbaiki hanyalah tata administratifnya saja sedangkan kualitas berpikir masih begitu-gitu saja. Apalagi dihadapkan dengan teknologi dan informasi yang semakin beragam, membuat pendidikan meski nya berubah dengan cepat. 

(Pixabay.com) 

Menjadi sebuah pertanyaan, apakah pendidikan tinggi itu menjadi sebuah kesejahteraan. Mereka pikir bahwa semakin rajin belajar maka semakin tinggi nilainya dan semakin tinggi nilainya maka semakin mudah dapat pekerjaan dan ketika mudah dapat pekerjaan maka Ia akan sejahtera. Benarkah seperti itu, belajar dan belajar pada akhirnya urusannya adalah uang. 

Memang dengan pendidikan tinggi bisa dapat pekerjaan yang tinggi pula akan tetapi itu dilihat juga dari kualitas dan lapangan kerja yang tersedia. Nilai tinggi tidak menjamin apakah ia sejahtera atau tidak. Inilah kesadaran palsu yang sering ditanamkan sejak masa TK. Mereka ditanamkan mengenai cita-cita, apa yang akan dilakukan dimasa depan. Padahal usia meraka untuk bermain bukannya memikirkan nasib di masa depan.

Mereka sekolah mengharap kehidupan yang lebih baik, mengandalkan selembar ijazah untuk melamar pekerjaan. Ijazah yang sat ini banyak bertebaran dimana-mana hanya mengisahkan pengalaman yang kosong. Karena orientasi nya adalah nilai maka pelajaran yang disajikan di dunia pendidikan nyatanya hanya menjadi batu loncatan saja agar dapat lulus. Mereka tidak tahu bahwa ilmu tujuannya bukanlah untuk nilai akan tetapi untuk memperbaiki sikap dan pola pikir. 

Belajar hanya dilakukan disaat pendidikan mendekati ujian, malas mengerjakan tugas dan mencontek menjadi hal yang biasa didalam dunia pendidikan sampai sampai terbawa sampai ke dunia dewasa. Lalu apa gunanya sebuah pendidikan jika hal seperti itu saja masih dianggap lumrah. Apa yang dipelajari dalam dunia pendidikan hanya untuk menggugurkan kewajiban saja. Setelah itu lupa entah antara pendidikan dan realita seakan terpisah jauh. 

Orang tua berharap dengan menyekolahkan anaknya dengan biaya yang tidak sedikit itu bisa membuat anaknya lebih baik lagi. Padahal nyatanya tidak demikian, mereka yang sudah lulus pun jangankan merubah keadaan sosial merubah pola pikirnya pun juga belum tentu bisa. 

Belajar agar dapat nilai besar adalah sebuah kebohongan dalam dunia pendidikan. Belajar mestinya bukan untuk mendapatkan nilai tetapi untuk merubah pola pikir. Percuma saja ilmu banyak nilai baik namun pola pikirnya tidak berubah menjadi lebih baik, yakni seperti memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif. 

Pragmatis adalah sesuatu yang jelas diajarkan di dunia pendidikan. Yang penting nilai besar tidak penting apakah Ia memahaminya atau tidak, ketika sudah lulus lalu cepat dapat pekerjaan. Jelas-jelas ini adalah pemahaman yang keliru, bahkan orang yang berprestasi pun sering salah dalam memahami sebuah pendidikan. Kesadaran palsu ini memang sulit untuk dihilangkan bahkan bagi yang pintar sekalipun. Pendidikan semestinya bukan untuk bergaya mendapatkan piagam perlombaan dimana-mana, seakan-akan dengan ilmunya Ia sudah menjadi orang yang hebat.

Pada akhirnya mereka yang berprestasi justru menjadi seorang pembelot. Dengan keilmuannya rela berbohong demi keuntungan semata. Pendidikan semestinya bukan soal prestasi, nilai, ataupun semacamnya namun pendidikan semestinya bisa merubah kondisi masyarakat yang kurang mampu bisa jauh lebih baik dari sebelumnya. 

Kesadaran palsu yang sudah mngakar pada dunia pendidikan memang sulit untuk dihilangkan. Kita tidak bisa mengandalkan pendidikan saat ini karena lambatnya proses pendidikan adalah hal yang mustahil untuk dirubah lebih baik menciptakan pendidikan alternatif yang mana tujuannya untuk kesadaran untuk diri, untuk sosial dan alam. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...