Langsung ke konten utama

Tingkatan Berpikir Manusia

Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya, diman manusia memiliki akal untuk berpikir. Berbeda dengan hewan yang mengandalkan instingnya dalam bertahan hidup. Dengan akalnya bukan hanya untuk bertahan hidup tetapi menciptakan bertahan hidup atau pola hidup yang beragam.

(Pixabay.com)

Kehidupan manusia memang tidak lepas dari berpikir. Biar dikatakan bodoh sekalipun Ia tetap saja akan berpikir namun dengan tingkatan yang rendah. Walaupun semua umat manusia memiliki akal namun setiap manusia ternyata memiliki tingkatan yang berbeda. Tingkatan berpikir juga bisa disebut juga cara pandang hidup atau cara memandang dunia. 

Untuk lebih jelasnya mengenai tingkatan berpikir manusia, ada beberapa tingkatan yakni sebagai berikut: 

1. Berpikir Umum

Berpikir umum ini merupakan berpikir yang sifatnya banyak dilakukan oleh banyak orang. Berpikir seperti berada tingkat yang paling rendah karena karena dalam berpikirnya ini hanya mengikuti pikiran secara umum, memandang sesuatu dari hal yang sifatnya material atau yang nampak. Orang yang berpikir secara umum tidak memiliki hasrat untuk berpikir lebih maju, selama pikirannya sama secara umum Ia tidak punya keinginan berpikir lebih. 

Memang cara berpikir seperti ini bisa dikatakan berpikir yang tidak mandiri, karena pikirannya hanya menggantungkan keumuman saja. Orang yang berpikir umum mungkin bisa bersaing dengan orang yang setara dengannya namun Ia akan kalah saing dengan orang yang diatasnya. Standar. Kesuksesannya oun sifatnya standar, berdasarkan keumuman yang ada. 

2. Berpikir Rasa

Setingkat lebih tinggi dari cara berpikir sebelumnya, orang yang berpikir rasa mungkin tidak hanya melihat sesuatu dari sisi materialnya saja tetapi dari sisi perasaan atau apa yang Ia rasakan juga. Mungkin akan terasa berbeda dengan orang awam dimana orang yang berpikir secara umum ketika makan mungkin hanya sekedar mengenyangkan saja, tetapi orang yang berpikir rasa juga akan menilai dari segi rasa dan keindahannya. 

Ia berpikir bahwa dalam melakukan sesuatu itu harus ada rasa yang dihadirkan dan juga harus menilai sesuatu dari rasa. Biasanya orang yang berpikir seperti ini memiliki gaya hidup yang berseni, dimana ia selalu memperhatikan segala penampilannya dan selalu mencari tempat yang berkelas. Selain memperhatikan penampilan, dalam kehidupannya pun juga selalu berkutat dalam perasaan dan berbicara dengan sastra.

3. Berpikir Saintis

Kemudian selanjutnya adalah berpikir saintis, orang yang berpikir saintis ini bukan berarti segala sesuatu kehidupan itu dihubungkan dengan ilmu-ilmu eksakta. Namun secara sederhananya berpikir saintis ini berpikir berdasarkan fakta dan kausalitas. Sebelum Ia melakukan sesuatu akan selalu berpikir terlebih dahulu mengenai manfaat yang didapat dan dampak yang akan ditimbulkan dengan apa yang Ia putuskan. 

Bisa dikatakan bahwa orang yang berpikir seperti ini mungkin akan berlawanan dengan berpikir sebelumnya, yakni berpikir rasa. Dimana jika berpikir rasa lebih mengedepankan perasaan, sedangkan berpikir saintis lebih mengedepankan logika. Berpikir saintis ini setingkat lebih tinggi dengan berpikir rasa, karena berpikir saintis ini lebih dekat dengan realita material dibandingkan dengan berpikir rasa, dimana orang yang berpikir saintis tentunya lebih objektif ketimbang berpikir rasa yang sifatnya lebih subjektif. Ia juga bisa menjelaskan suatu rasa dari sisi logika.  

4. Berpikir Kreatif

Orang yang berpikir kreatif ini adalah penggabungan antara berpikir rasa dengan berpikir logika. Ia sadar bahwa keduanya tentu tidak bisa di abaikan. Dengan menyatukan rasa dan sains sehingga menciptakan sebuah kreatifitas yang baru. Rasa akan mendorong kepada sesuatu dan logika mengarahkannya agar terarah. Orang yang sudah pada level ini juga bisa dikatakan produktif dimana ada sesuatu yang bisa Ia hasilkan dari dirinya. 

Orang sudah mampu berpikir kreatifitas ini setingkat lebih tinggi dari berpikir saintis, karena ia bukan hanya melihat sesuatu dari segi realita yang sudah, tetapi Ia menentang lalu menciptakan realita yang baru. Bukan hanya berpikir secara fakta namun juga mencari sesuatu diluar fakta.

5. Berpikir Filosofis

Berpikir filosofis adalah berpikir secara mendalam, Ia sadar bahwa apa yang terjadi di dunia ini bukan lah sesuatu yang kebetulan, mengkritisi dan mencari hakikat dibalik itu semua, dimana dibalik itu semua pasti ada hikmahnya. Orang yang sudah mencapai berpikir filosofis ini sudah berpikir diluar realita yang ada lalu menuju realita yang baru.

Selain mencari sebuah hikmah, maka Ia juga harus memiliki pemikiran yang kritis juga. Bukan hanya sekedar pencarian fakta saja tetapi memang ada suatu pikiran yang diluar fakta itu semua. Mungkin bisa dibilang orang yang sudah mencapai berpikir ini adalah orang yang memiliki intuisi yang tinggi. Intuisi tidak seperti orang indigo yang sifatnya alamiah, tetapi ini membutuhkan proses yang panjang dan mendalam. 

6. Berpikir Illahiah

Ada persamaan antara berpikir spiritualitas dengan berpikir filosofis, yakni sama-sama melihat sesuatu di luar realita yang ada. Namun yang membedakan orang yang sudah berada di puncak berpikir seperti ini sudah meniadakan realita sebelumnya. Berbeda dengan berpikir filosofis dimana Ia masih melihat realita sebelumnya. 

Orang yang berpikir illahiah ini sadar bahwa sejatinya diri kita adalah apa yang ada di dalam raga. Fisik hanyalah sebuah wadah yang tidak terlalu penting untuk diperhatikan. Ia tidak terlena dengan kenikmatan dunia, justru melepas itu semua dengan cara hidup yang apa adanya. Ia juga sadar bahwa dunia ini hanyalah sebuah tipuan, jadi jangan sampai terjebak dalam kenikmatan dunia ini. 

Dari keenam tingkatan berpikir ini semuanya memang berdasarkan bagaimana Ia menilai dan memandang sesuatu atau realitas yang ada semakin dalam berpikir seseorang maka Ia akan semakin lepas dengan realita yang ada. Realita yang ada ini adalah realita dunia yang sering kita lihat. Pikiran kemudian merefleksikan tentang semua yang Ia lihat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...