Langsung ke konten utama

Membaca Normalisasi Sosial

 Kebiasaan merupakan sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang lalu kemudian menjadi kebiasaan itu menjadi sebuah alam sadar kita dimana hal tersebut dilakukan secara tidak sadar. Bukan berarti dengan kebiasaan itu akal kit menjadi tidak sadar tetapi maksudnya adalah dimana kebiasaan itu menjadi sesuatu yang dilakukan tanpa proses berpikir lama. Kebiasaan itu kemudian apabila tidak dilakukan dalam beberapa waktu, mungkin akan membuat kita terasa aneh atau ada yang terasa hilang dalam diri.

(Pixabay.com)

Baik kebiasaan buruk maupun kebiasaan baik hal tersebut menjadi sesuatu yang biasa saja jika dilakukan secara berulang-ulang. Justru akan menjadi hal yang aneh jika melakukan sesuatu di luar kebiasaan tersebut. Misalnya apabila ada seseorang yang rajin beribadah, kemudian pada waktu tertentu Ia tidak melakukan ibadah maka hal tersebut menjadi sesuatu yang aneh baginya. Begitupun juga sebaliknya, apabila ada irang yang sering melakukan kejahatan maka jika Ia melakukan kebaikan hal tersebut menjadi sesuatu yang aneh baginya. Hal ini karena faktor kebiasaan, aneh dan normalnya sesuatu itu bisa terjadi karena suatu kebiasaan. Bahkan kejahatan yang sering dilakukan secara terus menerus, maka hal tersebut menjadi sesuatu yang normal. 

Inilah yang dinamakan dengan normalisasi. Sesuatu yang awalnya aneh kemudian menjadi hal yang biasa saja karena sering dilakukan secara berulang-ulang atau dibiasakan. Normalisasi ini tidak hanya berlaku bagi setiap individu saja, tetapi bisa terjadi secara kolektif atau sosial. Normalisasi sosial ini sebetulnya bisa atau memang sudah terjadi dalam hidup kita. Kita lahir tentu dididik dan diajarkan sesuai dengan kebiasaan lingkungan masyarakat. Hal ini mungkin jarang kita sadari karena sedari kecil sudah dibiasakan dan apa yang ada di dalam diri kita sebetulnya banyak unsur-unsur sosial yang masuk. 

Kita sebagai kaum intelektual tentunya jangan hanya sekedar melihat dan menganggap sesuatu hal yang biasa saja. Seseorang yang intelek tentu Ia harus menyadari bahwa sesuatu yang sesederhana apapun bisa menjadi ilmu yang sangat luar biasa. Dengan cara melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda dan mendalam dari kebiasaan umum tersebut, sehingga menemukan Ilmu pengetahuan baru. Kebiasaan kita sehari-hari saja misalnya, itu bisa menjadi ilmu baru jika kita pandai dalam menganalisisnya. 

Normalisasi sosial ini tidak melihat sesuatu dari segi logika tetapi justru dilihat dengan sebaliknya, logikalah yang harus mengikuti normalisasi. Logika  dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang berulang, kemudian menjadi sesuatu pemahaman yang tetap.  Jadi apabila ada orang yang menganggap tidak sesuai logika hal tersebut terjadi karena perbedaan kebiasaan. Biar pun pembuktian logikanya dengan fakta tentu dua orang yang berlawanan logika juga memiliki fakta sebagai penguat logika.

Dalam menganalisis normalisasi sosial ini, yang pertama adalah kita harus melihat terlebih dahulu menyadari bahwa suatu kebiasaan itu pasti ada sebabnya, tidak mungkin suatu kebiasaan itu terjadi tanpa sebab. Lalu kemudian melihat rentetan waktunya, sejak kapan normalisasi itu terjadi lalu seperti apakah peristiwanya. Waktu dan kejadian dalam sebuah normalisasi ini menjadi sesuatu yang perlu kita cari dan gali mengenai, karena semua kebiasaan pasti ada awal mulanya karena hal tersebut itu ada dan normalisasi ini juga bukanlah sesuatu yang alamiah tetapi memang sengaja dibentuk. 

Setelah mengetahui rentetan waktunya, baru kemudian mencari tahu respon masyarakat mengenai kebiasaan baru tersebut. Karena besar kemungkinan kebiasaan baru itu mengalami penolakan, lalu setelah itu bagaimana cara masyarakat menerimanya. Setelah kemudian kita harus mencari tahu siapa dan apa yang mempengaruhi kebiasaan tersebut. Karena apapun kebiasaan itu awal mulanya pasti dipengaruhi oleh sesuatu baik karena keadaan. 

Jika digali lebih dalam lagi mengenai normalisasi sosial ini, pasti akan ada sesuatu yang belum disadari dan bahkan orang yang melakukannya pun belum tentu menyadarinya. Semakin dalam dan semakin banyak pisau analisisnya maka akan semakin banyak ilmu dan kesadaran baru yang di dapat. Tidak menutup kemungkinan bahwa normalisasi yang dianggap benar itu bisa jadi menjadi sesuatu yang tidak benar. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...