Langsung ke konten utama

Kritik Pendidikan dengan Sistem Skor

Sebuah sistem kuno yang masih kita anut dalam sistem pendidikan sampai saat ini yakni pendidikan dengan sistem skor. Entah sejak kapan sistem pendidikan dengan skor ini diberlakukan, padahal dulu sistem pendidikan kita menggunakan sistem value.

Dalam bahasa Indonesia skor dan value memiliki arti yang sama, yakni nilai. Namun jika dalam bahas inggris memiliki dua bahasa yakni skor dan value. Skor adalah nilai numerik dimana mengukur kemampuan seseorang secara objektif, sedangkan value adalah nilai kehidupan, mengenai makna hidup dan cara pandang hidup. Baik itu skor maupun value sama-sama mengukur sesuatu namun dengan cara yang berbeda. 

(Pixabay.com)

Jika kita hubungan dengan sistem pendidikan maka yang selalu kita gunakan dalam sistem pendidikan kita yakni sistem skor. Menilai seorang murid dengan ukuran nilai angka. Memang keunggulannya sistem skor ini mampu mengukur dengan nampak dan objektif sehingga bisa mengetahui seberapa cerdas seseorang hanya dengan mengukur skor.

Namun, ada sebuah kekurangan dari sistem skor ini yakni Ia membuat manusia tidak hidup. Dalam sebuah pendidikan rupanya dengan sistem tersebut manusia menjadi mekanis. Dimana sebuah sistem yang kaku, semua sumber pengetahuan hanya sekedar logika, hapalan dan intelejensi. Sehingga melupakan nilai sosial, spiritual, intuisi dan semacamnya. Pada akhirnya sebuah pendidikan pada hakikatnya mati, pendidikan bukannya memanusiakan manusia tetapi justru menjauhkan manusia dari rasa kemanusiaan. 

Apa yang dapat kita lihat mengenai fenomena ini yakni, para murid hanya mengejar skor belaka. Mereka yang memiliki nilai tinggi Ia lah yang paling unggul, mereka belajar bukan karena kebutuhan untuk merubah diri mejadi lebih baik tetapi hanya sekedar mengejar nilai. Mereka tidak peduli apakah seberapa paham Ia dalam memahami materi yang terpenting Ia mendapatkan nilai yang besar. Mereka yang tidak mampu menguasai materi pada akhirnya menghalalkan segala, seperti mencontek misalnya. 

Pada akhirnya setelah lulus mereka yang sedari dulu mengejar nilai, kini di saat dewasa menjadi orang yang mengejar materi (uang). Tidak peduli apakah seberapa banyak ilmu yang dimiliki yang terpenting seberapa banyak uang yang dimiliki. Seperti inilah wajah pendidikan saat ini, pendidikan bukannya mendidik manusia menjadi orang yang berbudi pekerti tetapi justru malah menjadikan seorang yang egois dan materialistis.

Di sisi lain dengan sistem pendidikan skor ini manusia hanya menjadi sebuah robot. Pendidikan sudah diatur sedemikian rupa agar mereka menjadi seorang pekerja yang nurut. Daya berpikir kritis dan kreatif selalu terabaikan bahkan dimatikan. Akal mereka kemudian menjadi kaku, hanya sekedar mempelajari logika dan hapalan saja. Pada akhirnya mengapa banyak para siswa menjadi stress, karena mereka selalu ditekan untuk mengikuti pendidikan seperti ini. Pembelajaran mereka kemudian hanya menjadi sekedar formalitas yang penting lulus terus dapat bekerja tidak memiliki prinsip dalam hidup, mentalnya menjadi mental penurut, terombang ambing dalam arus peradaban. Pendidikan pada akhirnya bukanlah sesuatu yang dapat merubah diri menjadi lebih baik tetapi justru menjadikan mereka sebagai alat. Tidak berpikir apakah ketika lulus, kira-kira hal apa yang harus saya rubah dan apa yang bisa saya lakukan mereka tidak memiliki kesadaran tersebut, mereka tidak memiliki kesempatan untuk memilih apa yang mereka inginkan. 

Pendidikan dengan sistem skor ini sebetulnya tujuannya agar mengukur kemampuan manusia secara objektif, padahal sejatinya manusia itu tidak dapat diukur dengan nilai angka. Manusia itu tidak seperti sebuah barang yang sudah tercantum harganya, Ia tidak dapat dinilai oleh sebuah angka. Manusia itu bukan makhluk yang dapat dinilai secara objektif tetapi Ia adalah makhluk yang subjektif, Ia harus dilihat berbagai sudut pandang. Tidak hanya dinilai secara logika dan hapalannya saja tetapi juga dari segi akhlak, moral, kreatifitas, emosional dan semacamnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...