Berbicara tentang kesetaraan gender mungkin kita sering mendengarnya dan membahasnya di berbagai forum. Dimana kaum feminis menuntut agar kita kaum perempuan memiliki kesetaraan dengan laki-laki dalam hal status sosial, baik itu dari segi pekerjaan, rumah tangga, pendidikan dan sosial masyarakat.
![]() |
(Pixabay.com) |
Namun jika memang kesetaraan itu sudah terwujud, apakah akan menimbulkan permasalahan baru. Jika dulu yang dihadapi adalah kesetaraan antara kaum laki-laki dengan perempuan, mungkin di suatu saat justru kaum perempuan dengan perempuan. Lawannya bukan lagi laki-laki namun sesama perempuan.
Dibandingkan dengan persaingan antara sesama laki-laki, persaingan antara sesama perempuan ternyata lebih sulit dan menantang. Jika persaingan pria mungkin hanya dalam urusan asmara dan karir, namun persaingan perempuan bisa dari mulai kecantikan, karir, popularitas, asmara, kekayaan, keluarga, anak, dan lainnya. Perempuan memang lebih suka bersaing dengan sesamanya dan lebih senang membandingkan dirinya dengan perempuan lain. Kesetaraan sesama perempuan ini justru lebih sulit dibandingkan kesetaraan dengan laki-laki.
Jika seperti ini jadinya, siapa yang akan kita bela dan kita berpihak kepada kubu yang mana. Jika membuat kebijakan pun maka akan sulit untuk dilakukan, karena kebijakan apa yang bisa diterapkan dalam hal kesetaraan perempuan. Lalu jika dibiarkan saja begitu saja, apakah tidak akan berdampak pada mental perempuan. Apalagi jika perempuan senang untuk membanding-bandingkan dirinya adalah hal yang alamiah. Mungkin ini tidak ada yang bisa mencegahnya selain dirinya sendiri, sadar bahwa membanding-bandingkan diri dengan orang lain itu tidaklah baik.
Rasisme terhadap perempuan lainnya apalagi menyangkut fisik tentu bisa saja terjadi, ditambah dengan standar fisik yang tidak masuk akal, dimana standar kecantikan di standarisasi oleh golongan tertentu. Misalnya seperti harus berkulit putih berambut lurus, bulu mata yang lentik, bibir tipis dan merah merona, tinggi dan langsing, dan standar fisik lainnya. Dimana fisik mungkin akan banyak dipengaruhi oleh keturunan atau genetik. Jika genetik orang tuanya tidak sesuai dengan standar kecantikan, maka justru orang tuanyalah yang akan disalahkan. Mengapa aku dilahirkan dalam keadaan jelek yang tidak sesuai dengan standar kecantikan umum misalnya. Sehingga mereka yang wajahnya jelek akan melakukan operasi plastik agar cantik.
Ini masih dalam hal persaingan fisik, belum keluarga, anak, asmara, karir, pendidikan, popularitas, dan lainnya. Jika satu persaingan saja sudah memberatkan apalagi dengan persaingan yang lainnya. Jika mereka dari golongan perempuan yang kalah saing, maka yang terjadi mereka tidak percaya diri, merasa dirinya rendah dihadapan orang lain, dan merasa tidak berguna dalam hidupnya.
Namun apakah wanita ini selamanya menginginkan seperti ini. Selalu bersaing dengan sesama, mana yang lebih baik, Aku atau Dia. Apakah tidak ada hal lain yang bisa dilakukan, yang terpenting bukan hal yang membanding-bandingkan. Misalnya fokus kepada diri pribadi tanpa melihat kesuksesan orang lain.
Padahal Tuhan sudah memberikan kelebihan dan kekurangan di setiap masing-masing perempuan. Perempuan seharusnya sadar, bahwa pemberian tuhan itu adalah pemberian yang terbaik. Dari pada membandingkan diri dengan orang lain, lebih baik menggali potensi diri. Apa yang sekiranya bisa digali dalam diri, apa kelebihan kita sebagai perempuan.
Lebih baik kita sebagai perempuan, bisa saling mendukung dan mensuport sesama perempuan. Jangan sampai ada persaingan lagi antara kita sesama perempuan. Persaingan hanya membuat permusuhan, lebih baik saling berbuat baik antar sesama, karena sebaik-baiknya perempuan bukan perempuan yang cantik, populer, cerdas, karir cemerlang, dan kaya. Akan tetapi sebaik-baiknya perempuan, Ia adalah perempuan yang berakhlak mulia, taat kepada tuhan dan senang membantu orang yang kesusahan. Biarkan saja perempuan lain fokus dalam hal duniawinya, sedangkan kita perempuan harus fokus ke akhirat. Beramal baik untuk bekal di akhirat.
Komentar
Posting Komentar