Kalau dikatakan zaman canggih, zaman serba cepat, zaman serba praktis dan segala kelebihannya memang perlu kita akui. Globalisasi, informasi, trend dan segala kepopuleran tentang budaya ikut menghadiri sosial budaya pada masa kini.
Pada masa kini budaya tidak hanya dipandang secara kedaerahan saja, namun bisa secara komunitas atau kelompok yang mana itu tidak terbatas oleh suatu wilayah. Kesukaan masyarakat terhadap sesuatu tentu tidak dibatasi oleh sebuah ruang, karena zaman yang sudah canggih ini ruang sosial tidak terbatas tatap muka saja akan tetapi bisa melalui media sosial atau alat komunikasi lainnya.
Namun, segala macam hingar bingar euforia dunia, kreatifitas, kecanggihan teknologi, budaya modernitas rupanya ada hal yang hilang yakni ruh dari budaya itu sendiri. Dimana ruh zaman pada masa kini rupanya semakin lama semakin terkikis. Hal ini karena memang manusia sudah mulai sedikit-demi sedikit tergeser oleh yang namanya teknologi.
Jika dulu sebuah pertemuan merupakan sesuatu hal yang berharga karena mereka harus berjauhan jarak sehingga butuh waktu dan penantian yang cukup lama. Akan tetapi saat ini tinggal komunikasi lewat kemajuan teknologi, rupanya makna sebuah pertemuan menjadi hilang.
![]() |
(Pixabay.com) |
Perjuangan-perjuangan dalam hidup ini rupanya kurang terasa ruh spiritualnya. Jika dulu orang belajar harus ke suatu negeri yang berbagai macam buku. Namun sekarang tinggal melalui internet pun juga bisa. Namun, akan tetapi ruh dalam pendidikan itu ternyata mulai hilang dan terkikis.
Apakah ini karena sebuah kemudahan sehingga ruh perjuangan menjadi hilang juga. Bukankan dengan segala kemudahan yang ada harusnya manusia bisa turut lebih semangat dalam memperjuangkan sesuatu.
Manusia semakin lama semakin ke sini semakin kosong. Yang dilihat saat ini bukanlah manusia yang seutuhnya, dimana ini adalah sebuah kehidupan yang serba formalitas. Bagaimana mungkin jika kebaikan saat ini hanya untuk keperluan media segalanya orientasinya popularitas dan bisnis. Apakah ruh itu tetap ada hanya saja orientasinya kepada popularitas dan bisnis.
Bisnis dan popularitas itulah ruhnya zaman saat ini dimana manusia lebih mementingkan gaya dari pada etika ataupun adab, lebih mementingkan keuntungan materil daripada kebersamaan. Jiwa-jiwa manusia semakin lama semakin kapitalis, sehingga kita sulit menemukan identitas masyarakat yang berjiwa sosial. Semuanya hanya mementingkan urusannya masing-masing.
Ini tentunya merupakan hal yang tidak baik. Antara ruh dan jasad merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ibarat seperti gelas dan air, jika ingin meminum air tentu harus menggunakan gelas namun jika gelas tanpa ada air maka gelas itu tetap lah kelas namun kehilangan esensinya sebagai gelas. Begitu juga dengan manusia yang sepertu gelas tersebut, namun tidak ada air (ruh) di dalamnya. Jiwanya hanya diisikan oleh rasa keegoisannya saja sehingga mengikis jiwa sosialnya.
Aktifitas-aktifitas di masa kini memang lah teramat menarik untuk dilakukan. Hanya saja secara esensi itu sangat teramat sedikit. Aktifitas hidup saat ini seperti gelas tanpa air, hidup dan beraktifitas hanya saja tidak memiliki makna sama sekali. Coba saja kita lihat orang-orang yang membeli barang-barang mewah, kira-kira untuk apa Ia membeli barang tersebut, apa tujuannya, apa hakikatnya dari apa yang dibeli. Dan segala aktifitas yang sedang trend saat ini misalnya, sebenarnya itu pada awalnya baik hanya saja orang tak paham dan hanya sekedar ikut-ikutan saja sehingga orientasinya menjadi kurang baik.
Makanya, kita ini memang sedang hidup di zaman kekosongan ruh. Dimana orang tak paham dengan apa yang dilakukan, orang tak paham tentang apa yang diikutinya yang banyak dipahami orang-orang saat ini hanyalah kepopuleran dan bisnis belaka. Makna sebuah peristiwa, makna sebuah tindakan, makna apapun itu yang sedang terjadi saat ini rupanya dimaknai secara hambar. Ia hanyalah sekedar bumbu garam namun sayurnya sedikit.
Manusia saat ini memang sedikit yang kritis, terhadap suatu peristiwa, baik itu teknologi, budaya maupun sosial yang mana itu ditelan mentah-mentah tanpa dicerna terlebih dahulu. Jangankan melakukan hal tersebut, hany sekedar merefleksikan saja belum tentu dilakukan. Apalagi melakukan transformatif, tentu saja itu lebih sulit lagi.
Komentar
Posting Komentar