Langsung ke konten utama

Derita dalam Candu

Kita ini hidup dimana serba ketergantungan akan berbagai macam hal. Kemampuan-kemampuan saat ini semakin lama semaki melemah sehingga perlu skil-skil baru agar manusia bisa beradaptasi di dunia yang serba canggih ini. Pergeseran masa telah menggeser kemampuan manusia dengan banyak nya teknologi semakin lama manusia semakin tidak berguna sebenarnya. Namun tetap saja tujuan teknologi itu untuk manusia akan tetapi bukan menggantikan manusia itu sendiri memang sebenarnya ada beberapa pekerjaan manusia yang tergantikan oleh teknologi akan tetapi bukan mengganti rasa kemanusiaan itu sendiri. memang ini menjadi sebuah dilema antara apakah tenologi itu dibutuhkan namun di sisi lain Ia juga menjadi sesuatu yang menyulitkan pada akhirnya.

Manusia semakin lama-semakin termanjakan sehingga lama-kelamaan membuat mental manusia menjadi malas. Tentunya perlu ada suatu kebijakan bangaimana caranya agar teknologi bisa berkembang namun kemampuan manusia tidak menurun. Apalagi di zaman metavers tentu kemampuan fisik amat tidak diperlukan lagi.

Teknologi memang mencadi sebuah candu yang melakat pada diri manusia. candu ini memang membuat manusia menjadi teramat nyaman pada kondisinya saat ini, namun perlu kita tahu bahwa kebuah kenikmatan pada akhirnya akan menjadi sebuah penderitaan, karena ketidaksiapan manusia terhadap sesuatu yang tak terduga membuat manusia terkalahkan oleh waktu.

(Pixabay.com)
Candu itu sebuah derita yang teramat nikmat sehingga bagi yang menderitanya Ia tidak sadar bahwa dirinya telah menderita. Memang teramat sulit menyadarkan manusia dalam kondisi candu, hanya kesengsaraan dan rasa sakitlah yang akan menyadarkannya. Namun bagi yang cerdas dan sadar tentu jangan sampai hanya diam saja tentu harus ada transformasi dan pergerakan dalam melepas candu ini.

Candu ini memang pada akhirnya dalam merusak berbagai sistem kehidupan, dari mulai kesehatan, mental sosial,piritual, kecerdasan dan kemampuan-kemampuan manusia yang lainnya. Perlukah kita melepas teknologi dalam hidup lalu kembali menjadi manusia yang natural yang dekat dengan alam. Memang ini perlu dipertimbangkan bahwa perlu adanya keseimbangan antara kedekatan terhadap alam dengan kedekatan terhadap teknologi. Terutama kemampuan alamiah manusia yang mestinya teknologi tidak mengikis kemampuan alamiyah manusia.

Derita dalam candu yang mana manusia semakin terukat oleh rantai kemudahan akses. Ketika rantai itu lepas ia terasa bahwa rantai itu tidak mesti dilepas karena jika dilepas maka ia akan jatuh sehingga ia membiarkan rantai-rantai itu membelenggunya. Namun apakah merantai diri itu merupakan sebuah keputusan yang bebas. Bukankah manusia merupakan entitas yang bebas yang mana seharunya manusia tidak ketergantungan terhadap sesuatu kecuali kepada Tuhannya.

Candu ini memang sengaja diciptakan agar manusia lainnya bersantai dengan sebuah prodak yang disuguhkan. Entah apakah prodak yang disuguhkan itu penting atau tidak berguna atau tidak namun dengan hipnotis marketing apapun yang tidak penting menjadi penting dan apapun yang pada awalnya tidak diperlukan menjadi sesuatu yang diperlukan. Kebutuhan manusia saat ini sudah mencapai kebutuhan yang imajinatif atau bisa dikatakan hiperkomsumtif. Manusia tidak hanya menjadi manusia yang konsumtif akan tetapi menciptakan konsumsi-konsumsi baru yang melebihi kebutuhan yang semestinya.

Sebenarnya apakah ini adalah sesuatu yang baik? Tentu saja tidak, karena ini merupakan sesuatu yang sudah di atas batasan. Di masa sekarang ini memang sudah banyak manusia yang menyembah sebuah imajinasi-imajinasi yang diciptakan oleh mereka sendiri mereka menganggap itu adalah nyata dan menjadi sebuah sumber kebahagiaan. Apakah salah jika menonton film, mendengarkan music, atau pergi berlibur? Tentunya tidaklah salah yang salah adalah menjadi kan hal tersebut menjadi sebuah prioritas. Yang membedakan antara manusia yang candu dengan cayng normal tentu bisa dilihat dari apa yang Ia prioritaskan jika Ialebih mendahulukan sesuatu yang mestinya tidak diperlukan tentu inilah sebuah candu. Seperti orang yang rela kelaparan demi sebatang rokok atau narkoba, atau menonton sebuah drama tentu ini adalah sebuah candu yang nikmat namun ini adalah sebuah penderitaan.

Tentu kita perlu berpikir ulang merefleksikan diri tentang kebutuhan dan tentang diri kita mengenai sebuah kesadaran serta melakukan sebuah transformasi ulang dimana manusia mestinya bisa kembali menjadi manusia yang semestinya. Tentunya bukan berarti membuang apa yang dulu disukai hanya saja hal tersebut perlu dibatasi serta di kontrol jangan sampai itu dianggap sesuatu yang dianggap penting. Kita harus berpikir bahwa ada atau tidak adanya barang tersebut tentu itu mestinya tidak mempengaruhi diri kita. Manusia harus berdiri menjadi dirinya sendiri manusia super tidaklah bergantung pada teknologi justru ialah yang mengendalikan teknologi tersebut untuk membantu dirinya menjadi lebih baik bukannya menjadi sebuah bahwan sesembahan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...