Langsung ke konten utama

Negeri Tanpa Uang

Banyak yang bilang bahwa dengan memiliki banyak uang manusia bisa bahagia, karena dengan banyaknya uang kita bisa membeli apapun yang dimau. Jalan-jalan, jajan, beli ini dan itu semuanya bisa. Namun tetap saja uang itu hanya sebuah simbolis dalam sebuah sistem transaksi. Ketika sistemnya tidak berlaku maka uang pun tidak akan berlaku lagi. 

Dari pada memiliki banyak uang, lebih baik hidup ini serba gratis. Makan gratis, sekolah gratis, ke rumah sakit gratis semuanya serba gratis. Tidak perlu lelah-lelah menyimpan uang dan menumpuknya karena itu tidak ada gunanya itu hanya akan menjadi tumpukan sampah saja. 

Dunia tanpa uang memang ini seperti sebuah negeri di dalam dongeng. Bagaimana mungkin jika dunia ini serba gratis, semuanya sudah di privatisasi, air tanah bahkan udara sudah ada memilikinya. Bukan kah Tuhan telah memberikan dunia ini secara gratis. Lantas mengapa ada manusia yang mengklaimnya bahwa dunia ini adalah miliknya. 

(Pixabay.com)

Hadirnya uang memang telah merubah segala-galanya. Dari mulai sosial, ekonomi, budaya agama bahkan cinta semuanya harus di ukur dengan uang. Kemanapun kita pergi tentu akan selalu ada uang yang harus dikeluarkan. Entah itu untuk makan atau untuk transportasi. Dunia dengan sistem uang ini bagi saya bukanlah sesuatu yang menyenangkan akan tetapi sesuatu yang menyebalkan. 

Sistem kerja kita diukur oleh uang, meski sebetulnya mengukur kerja dengan uang apakah pasti hitungannya. Karena di banyak tempat, manusia diukur buka karena pekerjaannya akan tetapi kebutuhan hidupnya. Jadi manusia bekerja dengan lelah itu tidak ada harganya. Memang ini seperti sistem kerja hewan dimana kuda misalnya bekerja hanya diberi upah yakni rerumputan bahkan kuda masih mending karena Ia ada perawatannya sedangkan manusia tidak. 

Dulu dunia ini memang gratis, entah sejak kapan dunia itu digerakkan oleh uang. Saat ini mana ada orang yang bekerja secara sukarela, tanpa diberi upah alias gratisan tentu saja tidak. Buang-buang waktu rasanya kalau bekerja tanpa ada upah.

Perputaran dunia yang digerakkan oleh uang telah banyak menggulingkan berbagai kekuasaan. Raja-raja yang tadinya berkuasa kini tak berdaya di hadapan para pengusaha dan investor. Dunia sempit ini tentu tidak akan cukup melayani keserakahan manusia. 

Entah kapan tibanya dunia tanpa uang, yang aman manusia mendapatkan gratis segala fasilitas. Namun jika gratis lantas siapa yang melayani karena tidak akan ada manusia yang melayani jika tanpa uang. Pada intinya antara manusia satu dengan manusia lainnya itu saling melayani. 

Seorang dokter melayani sang petani ketika Ia sakit dan pada saatnya sang petani pun juga melayani sang dokter dengan hasil panennya. Tidak harus pusing memikirkan biaya rumah sakit atau biaya makanan karena semuanya telah ditanggung. Tidak adanya manusia yang tidak berguna atau kaya yang ada semuanya sama dan sejahtera. 

Sang pencuri dan perampok juga tidak akan melakukan hal itu karena entah apa yang harus ia curi karena semuanya sudah dimiliki dan terlayani dengan baik. Hanya saja kejahatan tentu saja tidak akan pernah berhenti selama manusia itu serakah. Seorang pencuri dan perampok mereka melakukan itu karena urusan perut. Sedangkan sang korup meski Ia sudah berkecukupan namun Ia tak pernah puas. 

Coba saja di dunia ini ada aturan pembatasan harta dan pemerataan harta atau membunuh orang-orang yang serakah. Karena orang yang serakah ketika dihukum tentu saja tidak akan memberikan efek jera, Ia akan selalu mengulang dan mengulang keserakahannya kembali. 

Negeri tanpa uang sama itu seperti negeri dongeng karena selama manusia memiliki hawa nafsu, dunia ini tidak akan pernah damai. Manusia yang serakah akan selalu hadir di berbagai zaman maupun belahan dunia. Ia bukan manusia bahkan lebih jahat dari sang iblis. Karena iblis tidak akan menjerumuskan kawannya ke dalam api neraka namun manusia bisa melakukannya. Karena manusia serakah tidak peduli akan sesamanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...