Kalau dibilang hidup ini membosankan memang benar-benar membosankan. Bukan berarti tidak bersyukur dengan keadaan, akan tetapi memang kebosanan itu merupakan sifat alamiah manusia. Dengan kebosanannya biasanya manusia menciptakan inovasi-inovasi atau variasi-variasi hidup yang lebih berwarna.
Dunia yang saat ini dan pad masa ini merupakan dunia yang serba formalitas. Coba kalau di pikir-pikir dalam segala aktifitas hidup kita nyatanya banyak sekali kegiatan yang tidak ada gunanya dan ada maknanya. Manusia kini seperti sebuah robot yang dikendalikan oleh teknologi, aktifitasnya selalu berkutat pada teknologi.
Semakin kesini manusia semakin tidak kreatif. Jika dikatakan saat ini banyak yang kreatif memang Iya, namun hanya sedikit yang otentik. Sedangkan sisanya hanya sekedar meniru-niru saja dan bahkan tujuannya hanyalah demi menarik perhatian bukan menjadi manusia yang totalitas berkreasi.
![]() |
(Pixabay.com) |
Hidup yang seba formalitas, pendidikan yang formalitas serba formalitas, pekerjaan yang seba formalitas itulah kondisi hidup saat ini. Dimana manusia bekerja atas kendali orang lain dan dipaksa oleh keadaan bukan atas kehendak diri sendiri.
Lebih mementingkan hal-hal yang tidak penting ketimbang mementingkan hal-hal yang penting. Atau dalam kata lain yang tersier lebih diprioritaskan ketimbang yang primer. Gaya hiduplah yang mendorong manusia untuk bergaya glamor padahal serba berhutang. Padahal Ia tersiksa namun karena paksaan gaya hidup membuatnya harus melakukan hal tersebut.
Pertemanan saat ini juga serba formalitas yang mana kita berteman hanya sekedar di media sosial. Bercerita dan memelas di depan layar kamera atau menjadi orang yang hebat. Padahal orang suka bukan kagum ataupun simpati kebanyakan orang hanya tertarik bukan empati.
Saat ini memang ruh zamannya adalah spirit of popularity. Jadi orang terdorong dalam melakukan sesuatu itu karena ingin menjadi populer dan dibanggakan oleh orang lain. Eksistensi manusia pun bukan dilihat dari bagaimana cara Ia berpikir namun seberapa sering Ia upload di media sosial dan berapa followersnya. Itulah cara dorongan hidup manusia saat ini.
Akan tetapi ternyata ini merupakan hidup yang formalitas yang mana manusia lebih mementingkan kuantitas ketimbang kualitas. Anak-anak saat ini lebih mementingkan gaya di saat kelulusan ketimbang ke depan harus seperti apa. Lebih bangga di saat foto-foto kelulusan ketimbang prestasi.
Kebanggaan-kebanggaan yang saat ini dikagumi oleh banyak orang apakah itu adalah kebanggaan yang nyata. Kegiatan-kegiatan yang saat ini rupanya banyak kehilangan substansinya hingga akhirnya hanya menjadi ajang gengsi semata saja.
Terjebak dalam kesadaran palsu yang mana dorongan untuk melakukan transformasi tersebut rupanya hanyalah sebuah jebakan. Kesadaran yang Ia tahu bahwa itu tidak berguna bahkan salah namun tetap diteruskan karena memang kondisi sosial yang serba menekan.
Tentunya kita perlu kesadaran individual, kesadaran otentik serta kesadaran spiritual. Yang mana itulah yang sebenarnya sesuatu yang esensial dan perlu disadari dan dijalankan. Kita harus kritis terhadap hidup yang serba formalitas ini. Hidup kita ini tentunya hanyalah sementara, rugi rasanya hidup serba formalitas dan mati begitu saja.
Keluar dari keformalitasan hidup memang penting untuk dilakukan. Meski memang kondisi sosial yang memang selalu menentangnya. Tidak hanya bersikap kritis akan tetapi juga transformatif. Perlu rasanya menjadi masyarakat yang anti formalitas yang mana manusia berhak melakukan sesuatu selama itu tidak melawan akal sehat dan hati nurani.
Bagaimanapun akal sehat dan hati nurani ini harus ada dalam menjalankan kebebasan dan bertransformatif karena jika tidak, kita hanya masuk ke dalam kehidupan formalitas yang lainnya. Makna dari kehidupan formalitas ini bukan dilihat dari apa kegiatannya akan tetapi apa substansinya, apa esensinya serta, serta apakah itu sesuai dengan hati nurani kita. Jangan sampai kita terdorong melakukan sesuatu hanya karena nafsu semata saja.
Komentar
Posting Komentar