Orang-orang yang sudah menikmati dunia modern, namun apakah mengenai Indonesia ini sudah masuk dunia modern atau belum atau langsung masuk ke post modern. Modern itu memang istilahnya agak ambigu kalau dari sisi istilah modern itu artinya baru. Jadi orang-orang yang tidak ketinggalan zaman itu dikatakan modern. Tetapi dalam sejarah filsafat menyebut itu adalah sebuah fase. Satu periode yang diawali abad ke 15.
Kalau dalam sejarah tepatnya ketika islam sudah mulai surut pengaruh intelektualnya maka barat mulai melahirkan renaisance dan aufklarung, di situlah maka diawali era modern, yang menjawab kegelisahan dominasi agama-agama. Kalau di barat dominasi agama Kristen luar biasa sehingga orang menyebut era kegelapan. Mengapa disebut era kegelapan karena orang tidak bebas berpikir. Bahkan ilmuan yang harunya berfikir objektif bebas untuk menemukan ilmu baru maka harus menuruti kemauannya gereja. Tidak boleh satupun teori atau konsep yang menabrak kebenaran agama versi gereja.
![]() |
(Pixabay.com) |
Setelah itu maka munculah era modern, dimana cirinya antroposentris manusia sebagai pusat segalanya. Habis-habisan mengelaborasi kemampuan manusia dalam dunia rasional individual bebas dan itu terbukti sukses. Lalu beberapa abad selanjutnya barat jaya mendominasi zaman sampai hari ini, sementara di dunia timur surut.
Hanya saja modern ini awalnya mengkritik tradisi ketat mitos akhirnya juga menjadi mitos. Banyak hal-hal yang dikategorikan sebagai modern, akhirnya diadopsi dengan begitu saja dengan tidak kritis sehingga lama-kelamaan menjadi mitos. Hati-hati apapun yang diterima secara tidak kritis dijalankan begitu saja, tidak dipertanyakan relevansinya efektifitasnya kecocokannya untuk hidup maka dia akan menjadi mitos.
Kalau dulu mitos itu perdukunan, kalau orang sekarang mitos kedokteran, dulu pakai jimat sekarang pakai pil. Dua-duanya bisa menjadi mitos ketika tidak kritis. Jadi pikiran-pikiran modern kemudian banyak yang sifatnya seperti mitos, diterima begitu saja tanpa kritis. Banyak orang yang mengaku modern padahal mitos.
Seperti wisuda misalnya, dimana harus pakai toga dimana begitu pakai itu bangganya luar biasa sebenarnya gunanya apa, padahal itu hanya sekedar kesepakatan saja, jika disepakati maka boleh-boleh saja, karena itu hanya sekedar simbol. Ketika hal tersebut diterima begitu saja maka hal tersebut menjadi mitos.
Kalau motornya merek apa dianggap anak gaul kalau motornya tahun 70-an dianggap jadul. Merek hp juga menjadi mitos, jika hp yang dibeli dengan harga satu jutaan dan sekitarnya kemudian membeli casing yang harganya puluhan juta ke atas. Padahal itu hanya casingnya saja. Padahal itu kan hanya mitos sebenarnya.
Banyak mitos-mitos dunia modern. Ternyata kita itu hanya jatuh ke lubang yang sama. Dulu kita menghindari mitos-mitos yang kita anggap primitif, kemudian mitos-mitos dianggap dari agama. Tetapi sebenarnya kita jatuh kedalam mitos-mitos modern.
Kemudian modern itu sangat rasional, kita tahu peradaban modern itu yang positifistik itu yang dipercaya hanya ada dua. Pertama yang ada bukti kongritnya atau yang masuk akal. Seolah-olah ilmunya modern itu pengetahuannya orang modern itu sudah luar biasa, kebenarannya universal. Tetapi kemudian ada kesadaran baru, dimana orang-orang hari ini orang-orang kontemporer para filosof baru mengungkap bahwa tidak sesederhana itu. Kedua objektifitas ilmu. Padahal ilmu itu tidak mesti ilmu-ilmu matematika, fisika, biologi, kimia itu tidak objektif, ada juga sebenarnya subjektifitas-subjektifitasnya.
Ada tiga mengenai kesadaran-kesadaran baru yakni sebagai berikut:
Misalnya pertama ada subjektifitas reflektif, ternyata ilmu itu yang dianggap objektif, ternyata ilmu apapun dan teori apapun itu menyembunyikan kepentingan dan ada relasi kuasa sendiri. Kadang-kadang ilmu itu mana yang penting dan mana yang tidak penting itu tergantung izin atau rekayasa dari yang memiliki kuasa, entah apakah itu di kampus atau kementrian. Ada hubungannya dengan kuasa tidak serta-merta itu penting bagus atau tidak ada relasi di situ dan ada kepentingan di situ diakui atau tidak diakui.
Kedua Ada juga subjektifitas kritis, dimana teori-teori yang mengkritisi seperti teorinya Karl Marx dimana Ia mengkritisi situasinya, tetapi pada ujungnya menjadi ideologis. Setelah mengkritik habis-habisan akhirnya menjadi kubu baru, membuat ideologi baru, akhirnya menambah masalah baru.
Kemarin kritisnya luar biasa namun ternyata aslinya mencari posisi. Seolah-olah yang lama itu jeleknya luar biasa maka ikutlah teori dari aku. Nanti teori ini jadi ideologi baru kemudian muncul kritis maka lahir teori baru. Di balik mengkritik ternyata ada penggiringan ke arah gay berfikir tertentu atau ideologi tertentu.
Marx itu habis-habisan mengkritik kapitalisme pada akhirnya menjadi ideologi baru sosialisme. Sama seperti positivistik cara dogmatik yang sebelumnya, yang dianggap tidak rasional tetapi jatuhnya ke mitos baru.
Yang ketiga, kesadaran sejarah. Bahwa banyak orang digiring oleh sejarah, karena membacanya secara linier sehingga orang terseret ke situ semua. Misalnya kalau ingin sukses lakukan seperti ini dan itu contohnya seperti para motivator. Semua orang menganggap bahwa jalan sukses itu seperti itu. Itu karena membaca sejarah secar linier, sama seperti orang tua yang ingin anaknya hapal Qur'an gara-hara nonton hafidz Qur'an. Itu sebenarnya tidak salah, hanya saja kalau dibaca secara linier bahwa semua anak hafal quran bisa gawat peradaban kita. Banyak anak yang nantinya sebenarnya Ia tidak bakan untuk menghapal terus dipaksa. Sehingga akan ada kerugian-kerugian sendiri, maka harus cermat dalam membacanya. Tidak salah tetapi harus pintar dalam membacanya.
Komentar
Posting Komentar