Langsung ke konten utama

Terjebak dalam Eksistensi Media Sosial

Di zaman sekarang ini siapa yang tidak mengenal media sosial. Dari muda sampai yang tua sudah mengenal media sosial, hampir setengah hidup manusia itu terfokus pada media sosial. Setiap harinya banyak yang menghabiskan waktunya untuk bermedia sosial, entah itu hanya sekedar mencari tontonan atau membuat status. 

Media sosial bukan hanya ajang untuk menghubungkan diri kita dengan orang lain tetapi juga untuk eksistensi diri. Kisah hidup kita seakan tidak akan terasa puas jika sebuah momen tidak di abadikan di media sosial. Tujuannya pasti untuk eksistensi diri menyatakan bahwa aku ada dan seperti inilah penampilanku. 

Tidak sedikit yang menampilkan dirinya dengan penampilan yang cantik dengan pemandangan yang indah agar banyak orang kagum dan menyukainya. Aplikasi untuk mempercantik diri seperti filter IG tidak akan pernah lupa untuk digunakan.

Sebuah gambaran media sosial membuat penampilan menjadi cantik dan tampan menjadi sesosok yang diidam-idamkan. Yang aslinya gemuk menjadi langsing dan yang aslinya hitam menjadi putih, semuanya bisa di edit dengan teknologi. Namun benarkah itu adalah diri saya? Jika memang itu adalah saya, mengapa berbeda jauh dengan kenyataan?. 

(Pixabay.com)


Candu akan editan foto sebenarnya tidak mengeksiskan diri itu adalah sosok yang lain. Yang ada di media sosial sebenarnya bukanlah aku namun impian diriku, yang ingin seperti itu. Lalu mengapa tidak menampilkan diri yang sesungguhnya? Apakah akan ada banyak yang menertawakan karena terlihat jelek? 

Banyak manusia terjebak dengan penampilan fisik, layar media sosial seakan terlihat nyata padahal tidak demikian. Tujuannya bukan untuk eksistensi namun untuk kekaguman diri. Perlukah eksistensi itu ditandai dengan banyaknya follower, teman, dan yang menyukainya. 

Kita sering salah persepsi dalam memahami apa itu eksistensi. Eksistensi bukanlah seberapa banyak orang mengenal dirimu, tetapi seberapa dalam kita memahami diri sendiri. Jika yang ditampilkan di media sosial adalah bukanlah diri sesungguhnya, berarti itu belum eksisten. 

Seseorang yang eksisten haruslah menampilkan diri yang sesungguhnya, tidak hanya sekedar tampilan fisik tetapi juga tentang sifat, pribadi, karakter, kemampuan dan yang lainnya. Penampilan hanyalah sebuah wadah, sedangkan diri kita yang sesungguhnya adalah apa yang ada di dalam diri. 

Memang sulit untuk menampilkan diri yang sesungguhnya, apalagi akan selalu ada komentar dan hujatan. Diri yang ada pada media sosial sesungguhnya bukanlah diri yang sesungguhnya, Ia adalah sosok ideal yang dibentuk atas dasar kendali media sosial. Apapun akan dilalukan, agar membentuk citra yang diidealkan oleh banyak orang. 

Namun tetap saja itu tidak akan bisa menghentikan orang berkomentar. Ada hal yang tidak bisa kita kontrol termasuk komentar orang lain, untuk apa memusingkan komentar orang lain apakah harus diikuti. Bukankah bisa membungkam mereka dengan menampilkan diri yang sesungguhnya. 

Jika memang hitam akuilah bahwa memang hitam, tidak harus diedit menjadi putih. Jika gemuk akuilah bahwa memang gemuk, tidak harus diedit menjadi kurus. Dunia tidak hanya untuk orang yang berpenampilan fisik ideal, semuanya bebas mengekpresikan dirinya tidak harus sama seperti yang lain. 

Eksistensi diri di media sosial itu bukanlah untuk menampilkan kepalsuan diri. Banyak yang terfokus dengan penampilan fisik, sampai-sampai lupa dengan apa yang ada di dalam fisik. Memang dalam dunia maya kita tidak dapat menampilkan sesuatu selain fisik, namun yang perlu di ubah adalah bagaimana kita memandang hal tersebut. Setiap orang memiliki komentar yang beragam karena bukan karena diri kita yang salah tetapi karena cara pandang orang yang beragam. Akan terlalu sempit jika memahami manusia jika hanya dari fisik semata saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Struktural Keorganisasian Kampus

(Dokumen Pribadi) Jika kamu adalah anak kuliah tentu pasti sudah tahu apa itu organisasi kampus. Mungkin ada sedikit perbedaan antara organisasi kampus dengan organisasi lainnya. Jelasnya organisasi kampus tentunya diisi oleh mahasiswa dan tentunya pola pikir keorganisasian dan tujaunnya berbeda dengan organisasi diluar kampus. Organisasi kampus sendiri terdiri dari dua macam, ada organisasi intra kampus kampus dan organisasi ekstra kampus. Organisasi kampus ini seberulnya hampir mirip dengan sistem kenegaraan kita seperti eksekutif, legislatif dan partai politik. Organisasi kampus ini, bisa disebut juga sebagai miniatur negara, untuk lebih jelasnya saya akan jelaskan dibawah ini:  Organisasi Intra Kampus Definisi organisasi intra kampus sendiri ada di dalam aturan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi (PUOK). Secara singkatnya organisasi intra kampus ini berada di bawah naungan kampus. Orga...

Antara Alam Pikiran dan Alam Realitas

Pernahkan kamu berfikir? Ya tentunya semua orang di dunia ini melakukan segala aktifitas dengan berfikir kecuali pada saat tidur dan pingsan. Hal yang unik dari manusia adalah manusia berbeda dengan fikirannya hewan. Hewan hanya berfikir berdasarkan insting naluri berfikirnya jika ada hewa-hewan cerdas seperti lumba-lumba dan  simpanse, mereka tentunya harus dilati terlebih dahulu. Tanpa dilatih mereka hanya hewan biasa walaupun di katakan hewan cerdas pun pemikiran mereka tetap saja tidak bisa berkembang. (Pixlab.com) Manusia tentunya memiliki kelebihan dibandingkan dengan hewan lain yakni pikiran, dengan pikiran manusia bisa melakukan hal yang sulit menjadi mudah, membuat hal yang kreatif dan inovatif, berimajinasi, berlogika, mempelajari hal baru dan masih banyak yang lainnya. Sejauh ini peradaban diciptakan oleh manusia dari masa-masa, manusia mempelajari hal baru dan ilmi-ilmu baru. Berbicara tentang pemikiram ini tentunya adalah hal yang unik, karena setiap orang memiliki tin...

Buat Apa Kita Belajar

Pertanyaan ini sebetulnya adalah pertanyaan yang kurang kerjaan, tetapi memang perlu kita pikirkan bersama. Memang sudah jelas tujuan belajar adalah menjadi orang yang pintar. Tetapi menurut saya itu bukan jawaban yang tepat. mengapa itu bukan jawaban yang tepat, karena kita harus lihat dulu tujuan dari belajar itu sendiri. Jujur saya orang yang senang belajar tetapi saya kurang suka pelajaran di sekolah, karena orientasinya hanya sekedar nilai. Mungkin ini tidak sesuai dengan stigma masyarakat. (Pixabay.com) Kita tentunya harus mengubah tujuan dari belajar. Jika kita belajar rajin mengerjakan PR, rangking satu, ujian selalu baik tentunya itu adalah anak yang pintar. Padahal itu bukan orang yang pintar, tetapi dia hanya ingin dipandang baik masyarakat (sekolah) makanya harus rajin agar dipuji oleh banyak orang. Jika kamu merasa puas ketika dipuji karena rangking satu tentunya sangat puas. Tetapi puasnya hanya cukup disitu saja. Setelah ia puas maka ya sudah pelajaran yang telah lalu di...