Jika kita berbicara ilmu pengetahuan, terlintas dalam pikiran kita yakni sebuah akal dan logika. Sumber ilmu pengetahuan memang asalnya dari sumber pikiran, dimana manusia menalar dan memahami sesuatu dengan akal pikirannya lalu merumuskan sesuatu sehingga jadilah sebuah ilmu pengetahuan.
Seseorang yang pintar memang sering disemat kan dengan IQ-nya yang tinggi. Di dunia ini memang banyak para ilmuan yang IQ-nya tinggi seperti Albert Enstein, Steven Hawkins, Thomas Alpa Edison dan masih banyak lagi. Setiap orang cerdas tersebut memiliki kontribusi besar terhadap ilmu pengetahuan dan kemajuan dunia.
![]() |
(Pixabay.com) |
Namun apakah sumber ilmu pengetahuan itu hanyalah akal. Sebenarnya sejauh mana akal dalam memahami sebuah fenomena yang empiris. Di dunia ini ada banyak hal sebetulnya sulit untuk dipahami dengan akal. Meski banyak yang mempercayai kebenaran akal, namun akal juga pasti banyak kekeliruan.
Selain akal sebenarnya manusia juga memiliki perasaan dimana perasaan ini sebagai respon terhadap sesuatu bukan menjadi sumber ilmu pengetahuan. Padahal perasaan bisa menjadi sumber ilmu pengetahuan dan bahkan perasaan adalah inti dari sumber ilmu pengetahuan.
Meski memiliki akal yang cerdas dan wawasan yang cerdas namun tanpa dorongan dari perasaan rasanya itu percuma. Rasa haus akan ilmu pengetahuan itu datangnya dari perasaan kemudian di salurkan ke akal lalu menyalurkannya lagu ke fisik untuk segera bertindak.
Tanpa perasaan imajinasi tidak akan muncul, seorang seniman menciptakan sebuah seni tentunya dengan perasaan. Jika seni menggunakan akal maka seni tidak akan pernah terwujud Ia hanya akan menjadi kerangka yang mati.
Sebuah perasaan dapat menjadikan sebuah benda menjadi bernilai. Emas tidak akan pernah bernilai jika tidak ada yang menyukainya, sumber kesukaan pastinya adalah perasaan. Sebagian besar ilmu pengetahuan di dunia ini, sebenarnya berasal dari perasaan. Seni, sastra, budaya, sosial dan semacamnya sumbernya berasal dari perasaan.
Mungkin kita sering menganggap bahwa perasaan yang menjadi sumber ilmu pengetahuan hanya menghasilkan ilmu-ilmu humaniora. Padahal perasaan juga bisa memunculkan ilmu-ilmu eksakta atau sains. Ilmu sains ini sebenarnya muncul dari tindakan sosial, seorang yang mempelajari ilmu kimia. Seorang yang belajar ilmu kimia pasti ada dorongan sosial, dimana Ia belajar ilmu kimia pastinya untuk kepentingan manusia. Teknologi-teknologi yang diciptakan saat ini bahkan sumbernya dari perasaan. Tidak mungkin tercipta yang sosial media jika tidak ada manusia yang mengisi sebuah kesenangan didalamnya. Manusia menciptakan hiburan dan hiburan itu dikonsumsi oleh publik dengan bantuan teknologi.
Bahkan etika dari sebuah penelitian seperti sains pun juga muncul dari sebuah perasaan. Entah apa jadinya jika sains tanpa perasaan (etika), mungkin manusia boleh dijadikan sebagai objek penelitian semaunya tanpa aturan hukum dan moral. Perasaan memang mendorong bebas untuk mencari ilmu pengetahuan, namun kebebasan perasaan ini haruslah dibebaskan dengan moral dan etika dan itu pun masih bersumber pada perasaan namun keduanya merupakan sesuatu yang berbeda.
Semuanya pada intinya ilmu pengetahuan itu berasal dari sebuah perasaan. Dengan adanya perasaan, mendorong manusia agar selalu mencari ilmu-ilmu baru. Logika tidak akan berjalan jika tanpa adanya perasaan. Jika perasaan mendorong manusia untuk berpengetahuan, lantas apakah bisa perasaan dipahami secara logis. Memang ada keterkaitan antara logika dan perasaan. Perasaan mendorong logika dan logika menalar perasaan, mencari tahu apa maksud dari sebuah perasaan.
Dalam mendefinisikan sebuah perasaan, memang agak sulit sebenarnya dalam memahaminya sebagai sesuatu yang objektif, Ia adalah sesuatu yang berubah-ubah tidak memiliki wujud yang tetap. Perasaan biasanya selalu memunculkan sebuah Isyarat yang bahkan tidak dimengerti oleh akal. Ini menjadi sebuah tantangan dimana ketika akal memahami sebuah perasaan, maka akan selalu muncul pengetahuan-pengetahuan baru.
Komentar
Posting Komentar