Langsung ke konten utama

Perempuan dalam Genggaman Patriarki

Apa benar jika perempuan itu hanya sekedar memasak, berdandan, berpakaian, dan semacamnya. Nasibnya perempuan memang tidak terlalu bagus meskipun perempuannya sendiri tidak sadar. Perempuan itu dari semua properti di dunia yang atas namanya perempuan itu hany satu persen, berarti 99 persen atas nama laki-laki. Memang sudah banyak perempuan yang masuk kabinet, tetapi jika ditotal jumlahnya hanya 5 persen. Hanya saja meskipun jumlahnya kecil tetapi jumlah jam kerjanya, jika jam kerjanya di total itu bisa sampai 60%. Pekerjaannya lebih melelahkan tetapi hasilnya tidak terlihat.

(Pixabay.com)

Jika didalam rumah tangga misalnya antara pekerjaan suami dan istri itu lebih beras seorang istri. Seorang pria bangun pagi makanan sudah siap tinggal makan langsung berangkat dan di kantor pun hanya santai-santai lalu pulang sore. Berbeda seorang istri dimana Ia bangun pagi langsung bekerja di dapur sampai malam aktifitasnya, selalu ada saja yang dikerjakan. Tetapi jika melihat sektor pekerjaan seorang istri itu bukan sektor yang penting dimana tidak terlihat hasilnya, yang terlihat hasilnya adalah seorang suami karena bisa dapat jabatan, promosi dan tunjangan. Tidak ada namanya promosi jabatan rumah tangga. Tetapi anehnya perempuan menganggap fenomena ini adalah hal yang wajar. 

Jadi, situasinya sudah tidak mungkin lagi tentang persamaan. Jika persamaan tetap hasilnya tidak akan adil, karena posisinya sudah tidak seimbang. Maka, caranya bukan diberi kesamaan tetapi diberi keadilan, perlu ada keberpihakan. Keadilan bukan bicara tentang persamaan atau kesetaraan tetapi lebih dari itu keadilan harus bisa memenuhi porsi yang pas. Jika perempuan dengan laki-laki diberi kesempatan sama, tetap saja perempuan akan kalah, karena mereka berada di kesempatan di ranah laki-laki tentu saja perempuan akan tetap kalah. Jika mau seorang perempuan diberi tempat khusus yang sesuai dengan porsinya. Perempuan di utamakan terlebih dahulu sampai kekuatannya sama dan sejajar. Jika hari ini dilangsung bersaing maka tidak akan seimbang. Maka dari itu harus ada keberpihakan tidak hanya persamaan. 

Terkadang masih banyak yang keliru tentang pemahaman gender dimana menyamakan gender dengan kodrat. Padahal yang namanya kodrat itu hanya dari segi fisik, seperti hamil, menyusui dan haid, tetapi memasak, mencuci, dan pekerjaan rumah tangga lainnya itu bukanlah kodrat. Gender itu bentukan sosial dimana disepakati sesuai dengan adatnya masing-masing. 

Yang dipersoalkan adalah gender bukan seks (biologis). Seringkali pembagiannya tidak adil, dimana gender saat ini justru malah lebih menyenangkan laki-laki karena peradaban banyak dibentuk oleh laki-laki. Sejak awal rajanya adalah laki-laki, jendralnya laki-laki, gubernurnya laki-laki dan semacamnya.

Sering kali tidak peka dengan kebutuhannya perempuan. Itulah yang mengakibatkan ketimpangan gender. Itu tadi sebetulnya kesepakatan, dimana kesepakatan untuk berbagi tugas sedangkan jatah berbagi tugasnya itu perempuan selalu tidak mendapatkan bagian yang tidak enak. Sudah diberi beban hamil dan menyusui, waktunya lahir perempuan harus mendidiknya dan juga membesarkan adalah perempuan. Permasalahan yang sering terjadi, yaitu: 

Pertama marginalisasi. Dimana ada stigma bahwa perempuan itu tidak perlu pendidikan tinggi-tinggi, karena takutnya sulit mendapatkan jodohnya atau telat menikah. Itu sebetulnya yang membuat adalah peradaban yang membuat perempuan terpinggirkan. Bukan hanya disektor pendidikan tetapi disektor politik, pekerjaan, agama dan dan lainnya.

Kedua, beban kerja. Perempuan itu pekerjaannya banyak tetapi karena sektornya tidak penting sehingga tidak menghasilkan apa-apa. Ketiga, subordinasi. Dimana perempuan dianggap tidak penting hanya sebagai pelengkap. Keempat, stereotipe. Pelabelan perempuan dianggap jelek dimana perempuan dianggap lemah, manja, harus mengalah dan semacamnya.

Mengapa hal ini bisa begitu, karena peradaban kita memang peradaban laki-laki (patriarki). Penguasanya kebanyakan adalah laki-laki maka kebijakannya dibuat oleh laki-laki, jarang memperhatikan kepentingan perempuan. Jadi, nilai, norma dan kepercayaan itu sangat patriarki dan diatur untuk menyenangkan laki-laki. Perempuan harus cantik dan berpakaian menarik itu memang dibuat oleh laki-laki agar laki-laki tertarik. Sehingga secara tidak sadar perilaku tersebut dianggap wajar oleh perempuan dimana Ia jadi korban laki-laki. Pada akhirnya laki-laki jadi super ordinat dan perempuan jadi subordinat. 

Problemnya perempuan hari ini adalah komitmennya terhadap keperempuanan. Keperempuanan itu seperti mencuci, berdandan, mengurus anak, beres-beres rumah yang orientasinya kedalam, menganggap bahwa Perempuan yang paling hebat adalah disisi tersebut seolah-olah pemikiran ini hebat padahal aslinya menjebak perempuan. Sehingga perempuan yang tidak mengurusi urusan rumah tangga dianggap nilainya rendah. Apalagi perempuan harus cantik dan merawat kulitnya jika tidak maka laki-laki tidak tertarik padanya. Padahal ini yang membuat narasi ini adalah laki-laki.

Apakah memang cantik itu harus di stigmakan kepada perempuan, lalu apakah wanita yang tidak suka berdandan dianggap bukan perempuan. Sehingga wanita takut ketika ia tidak berdandan untuk tampil cantik karena ia takut tidak mendapatkan jodohnya. Sebetulnya tidak menjadi masalah jika perempuan ingin bisa memasak, mencuci, mengurus anak, dan berdandan yang menjadi masalah adalah struktur yang mengarahkan menjadi seperti itu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...