Langsung ke konten utama

Hal yang Perlu Dikoreksi dari Pergerakan Feminisme

Kesetaraan Gender Memang sudah terlihat jelas di masa kini dimana perempuan sudah bisa memasuki sektor-sektor yang dilakukan oleh laki-laki, meskipun belum terlalu banyak. Saat ini perempuan sudah bebas memang dalam memilih ingin mau jadi seperti apa kedepannya. Antara hak laki-laki dan perempuan sudah dikatakan setara.

(Pixabay.com)

Dengan maraknya pergerakan feminis seperti pembentukan undang-undang dan banyak dibuatkannya seminar-seminar tentang keperempuanan, membuat perempuan semangat untuk meraih kesetaraan. Namun apakah feminisme ini berjalan dengan semestinya. Jika kesetaraan ini yang disasar adalah untuk perempuan, lantas mengapa masih banyak ketidakadilan bagi perempuan. 

Memang seminar atau kajian itu memang banyak dilakukan, hanya saja sekedar standar kampus, yang tahu tentang kesetaraan gender hanya para perempuan terdidik terutama mahasiswa dan dosen. Seminar atau kajian tersebut seakan menyetarakan perempuan padahal hanyalah omong kosong. Para perempuan yang memiliki pendidikan rendah mereka tidak tahu apa itu kesetaraan gender dan apa saja hak-hak perempuan. Padahal yang dibahas adalah mereka yang notabennya yang memiliki pendidikan yang rendah dan menjadi korban. 

Selain itu para mahasiswi yang sudah paham dengan gender, nyatanya tidak menyebarkan ilmunya ke masyarakat kecil. Ilmunya hanya di simpan di otak, hanya sekedar tahu tetapi jarang jang melaksanakannya. Bahkan banyak juga dikalangan mahasiswi yang lebih memilih menjadi seorang ibu rumah tangga, karena sudah lelah menjadi mahasiswa ditambah pula harus bekerja.

Mereka yang lebih memilih untuk menjadi ibu rumah tangga akan mengikuti kemanapun suaminya, tanpa ada kesepakatan bersama. Jika suaminya melarang untuk bekerja maka Ia pun akan berhenti untuk bekerja Memang tidaklah salah jika memilih menjadi seorang ibu rumah tangga tetapi haruskah semua wanita berpikiran seperti itu. Ini menjadi bukti bahwa perempuan saat ini belum bisa melepas diri dari stigma patriarki. Para perempuan tidak bisa lepas dari stigma lemah, selau ingin dilindungi dan hanya mengandalkan perasaannya. 

Termasuk juga seorang perempuan yang ingin melanjutkan studinya juga harus berpikir dua kali, apakah Ia harus melanjutkan studinya, jika Ia untuk apa jika pada ujung-ujungnya menjadi ibu rumah tangga. Atau jika melanjutkan pun takutnya jodohnya susah sehingga telat dalam menikah. Inilah yang membuat sektor pekerjaan masih banyak dikuasai oleh kaum pria. Sehingga bisa dikatakan bahwa para perempuan itu bukan takut bersaing dengan laki-laki tetapi takut melajang. Selain itu memang pemahaman feminisme ini bukan hanya untuk kaum perempuan tetapi juga kaum laki-laki juga harus paham akan feminisme, karena pergerakan feminisme akan terhambat jika kaum laki-laki masih menganut patriarki. 

Ternyata pemahaman tentang feminisme ini tidaklah cukup untuk sebuah kesetaraan. Pemahaman feminisme ini semestinya menjadi api dalam membakar semangat perjuangan dimana berani dan bisa melawan pemikiran patriarki bukan hanya berani di dalam forum diskusi saja. Feminisme ini juga semestinya bisa menyebar bukan hanya dikalangan akademisi tetapi juga harus masuk ke kalangan yang memiliki pendidikan yang rendah, seperti buruh pabrik, ibu rumah tangga, pedagang kecil dan para pekerja kasar lainnya.

Seminar dan diskusi tentang keperempuanan seakan hanya menjadi sebuah wacana dan rencana, namun belum sampai untuk merubah pola pikir. Pergerakan feminisme akan menjadi sebuah kekonyolan jika para penggerak feminis belum bisa melepas stigma patriarki. Padahal pada intinya pergerakan feminisme itu melawan pola pikir kuno dan struktur yang masih patriarki. Para kaum akademisi seharusnya bisa terjun langsung ke masyarakat bukan hanya mendiskusikannya didalam forum. Mereka yang notabennya sebagai kaum akademisi tidak harus diceramahi terus-terusan tentang kesetaraan. Seorang akademisi semestinya sudah bisa membawa semangat juang feminis itu ke dalam ranah sosial masyarakat, bukan hanya terjun dan sekedar meneliti kondisinya saja tetapi juga mampu dalam membawa perubahan struktur sosial dan merubah pola pikir masyarakat. Perlu ada gelombang yang keempat dan gelombang selanjutnya memang dalam merombak sampai ke akar-akarnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...