Langsung ke konten utama

Menjadi Pegawai Itu Melelahkan

Ada kalanya kita bosan dengan pekerjaan kita terutama bagi mereka yang menjadi seorang pegawai. Pekerjaan yang menumpuk ditambah dengan deadline yang singkat apalagi sering dimarahi oleh si bos. Waktu hidup kita banyak dihabiskan didalam sebuah ruangan, pulang hanya menyisakan rasa lelah. Hal ini tentu akan membuat kita tidak nyaman berlama-lama untuk menjadi seorang pegawai. 

(Pixabay.com)

Gaji yang hanya cukup untuk sebulan, tanpa ada pemasukan. Semakin hari kebutuhan semakin meningkat namun gaji tak kunjung meningkat, tentu hal tersebut membuat kita ingin mencari pekerjaan yang memiliki gaji yang lebih besar. 

Pindah dari satu perusahaan ke perusahaan hanya menambah rasa lelah saja, semuanya ternyata sama saja. Tetapi memang harus tetap bersyukur, karena di zaman sekarang ini pekerjaan semakin sulit sekalinya dapat itupun untung-untungan. Makanya dengan sulitnya dalam mencari pekerjaan. Oleh karena itu maka, banyak yang rela untuk tidak keluar dari pekerjaannya, meskipun membuat otak stress dan sakit jiwa. 

Dari awal pun memang, menjadi pegawai sudah banyak diatur-atur seperti persyaratan yang banyak dari mulai usia, jenis kelamin, fisik, surat-surat dan lainnya. Ribet memang, hanya saja itu harus dilakukan agar mendapatkan pekerjaan. 

Jadi seorang pegawai jenuh memang, pekerjaan yang banyak namun dengan gaji yang tak seberapa, apalagi di hari tua tidak ada pemasukan. Lalu apa yang harus dilakukan sedangkan yang bisa dilakukan saat ini hanya bisa menjadi seorang pegawai. Kebanyakan kita bekerja memang karena terpaksa sehingga pada akhirnya bekerja pun akan terasa tersiksa. 

Mungkin tidak semua yang menjadi sebagai pegawai itu tersiksa, karena sebagian orang memang ada yang menikmatinya itu pun juga kalau gajinya besar, punya jabatan tinggi, dan karyawan tetap. Itupun juga hanya sedikit yang bisa diterima seperti itu dan sisanya hanya menjadi pegawai kontrak. 

Kita memang selalu berharap dengan menyandang pendidikan yang tinggi dan IPK yang tinggi kita bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Padahal menjadi pegawai tetaplah menjadi pegawai. Tidak peduli lulusan apa dan nilai berapa, yang terpenting punya pengalaman atau tidak punya skill atau tidak.

Usia kerja saat ini Juga begitu pendek, mereka yang berusia 40 tentu akan sulit dalam mencari pekerjaan. Padahal itu adalah masa-masa dimana banyaknya kebutuhan sedang banyak-banyaknya, terutama dalam hal pendidikan anak. Sehingga pada akhirnya mengorbankan anaknya kembali untuk menjadi seorang pegawai. Agar bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Cita-cita mesti terkubur, karena ekonomi keluarga yang pas-pasan. 

Para perusahaan memang lebih senang menerima para pegawai yang muda karena mereka masih aktif dan produktif dalam bekerja. Mereka tidak peduli tentang nasib mereka setelah berhenti bekerja, yang terpenting bagi mereka, perusahaan bisa tetap jalan.  Mereka yang sudah usia lanjut lantas bisa apa? Mungkin mereka hanya bisa meratapi nasib atau banting stir mencari pekerjaan baru, entah itu merantau ke tempat lain atau beralih profesi. 

Penyesalan memang selalu datang di akhir, coba saja jika belajar dengan giat tentu akan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, jika sudah tua tentu semuanya sudah terlambat. Sulit memang melepas diri dari dunia kepegawaian ini, apalagi ketika tidak punya keahlian lainnya.

Semestinya lahat yang dulunya adalah sawah, semestinya bisa kita garap. Saat ini apa yang mau di wariskan karena semuanya sudah dijual. Apa salahnya menjadi seorang petani atau petambak, semestinya kita sebagai sarjana bisa menggarapnya agar lebih maju dan berkembang. Bukannya mencari-cari lagi lapangan kerja. Mereka seorang petani dan petambak tentu lebih mulia dibandingkan dengan pegawai. Selain gajinya lebih besar mereka juga tidak tidak ada yang mengatur-ngatur.

Seandainya pemerintah bisa memperhatikan para petani, petambak dan nelayan dimana mereka merdeka dari para tengkulak lalu mereka dibuatkan kooperasi tentu lebih menguntungkan. Tidak harus capek-capek mencari kerja di kantoran. Kita ini anak cucunya petani dan pelaut bukan anak cucunya buruh. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...