Langsung ke konten utama

Wisata yang Tak Menghibur

Semua masyarakat tentu tahu apa wisata. Wisata ini adalah kegiatan untuk refreshing pikiran dan perasaan kita. Saat ini wisata telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat, bukan hanya masyarakat kota saja namun juga masyarakat desa. Setiap orang tentunya memiliki tujuan yang berbeda-beda dalam berwisata. Ada yang hanya untuk pamer di medsos, refreshing, liburan keluarga, atau pacaran. 

(Pixabay.com)
Namun sayangnya yang menikmati ini semua hanya bagi kaum karyawan saja yang memiliki gaji yang cukup dan di atas rata-rata UMR. Sedangkan masyarakat kecil seperti petani, buruh dan nelayan, mereka tidak melakukan hal tersebut. Di samping uang yang tak cukup untuk melakukannya, pekerjaan yang melelahkan beserta waktu yang menyita rasanya sulit untuk melakukanya. Yang mereka pikirkan yang terpenting bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Yang teganya, banyak wisata-wisata ini ternyata banyak menggusur tanah-tanah masyarakat petani. Dimana Ia mencari makan untuk sehari-hari tetapi malah justru digunakan untuk wisata. Alasannya karena tempatnya potensial dan membuka lapangan pekerjaan baru. Lalu lapangan untuk siapa? untuk para petani. Padahal skill mereka adalah bertani bukan mengelola wisata, sehingga banyak wisata-wisata tersebut dikelola oleh pihak luar. 

Lalu apa makna sebuah wisata yang menghibur, namun harus dengan menggusur. Dengan dalih tempat yang potensial untuk dijadikan wisata dan percepatan ekonomi. Memang bagi masyarakat pekerja seperti karyawan, mereka memiliki dampak positif terhadap mereka, dimana mereka senang dengan adanya wisata namun tidak dengan para petani, buruh dan nelayan mereka tetap saja sengsara. 

Seharusnya pemerintah bukan hanya memikirkan aspek ekonomi saja namun juga aspek sosial,  sumber daya manusia bahkan ekologisnya. Jika ingin menghibur masyarakat, maka cukup berikan lahan saja agar mereka garap. Mereka butuh makan bukan wisata. Hanya gara-gara sektor ekonomi baru, bukan berarti melumpuhkan sektor ekonomi yang lainnya. 

Bukan berarti wisata adalah hal yang terlarang, namun jika caranya dengan merampas kebahagiaan orang lain seperti pekerjaannya yang hilang, maka hal tersenut adalah tindakan yang salah. Coba saja bayangkan jika kita berwisata lalu bersenang-senang, namun secara tidak sadar bahagia di atas penderitaan orang-orang.

Seperti yang sudah di sebutkan di atas, bahwa dalam membangun sebuah wisata tentunya pemerintah harus memperhatikan beberapa aspek. Seperti aspek sumber daya manusia dan ekologisnya. 

Mengenai sumber daya alam, jangan sampai menghilangkan salah satu sektor, seperti pertanian misalnya. Jika memang digusur, maka perlu adanya lahan pengganti agar mereka bisa bekerja. Mereka tentunya tidak mau jika beralih profesi karena bukan skillnya. Sehingga bukan alih profesi tetapi alih lahan saja, dan lahan itu tentunya harus memiliki kualitas yang sama dengan lahan yang sudah diganti. 

Kemudian dalam aspek ekologis tentunya ini adalah aspek yang penting, karena jika wisata tersebut bukan hanya merusak alam tetapi bisa merusak wisata dan ekonomi sekitarnya. Seperti misalnya ada wisata, tetapi tidak memperhatikan kebersihan dan juga pengambilan air yang berlebihan untuk keperluan wisata sehingga supply air di lahan pertanian menjadi berkurang. 

Alangkah baiknya jika wisata tersebut bisa bermitra dengan petani dan pedagang. Dimana petani bisa menjual hasil panennya kepada para pedagang dan pedagang menjualnya kepada para wisatawan sehingga terjalinnya kerja sama antar sektor. Dengan sistem ini tentunya akan membangun sebuah ikatan ekonomi yang kokoh. Masyarakat menjadi sejahtera tanpa ada yang perlu dikorbankan.

Ini bukan hanya disektor pertanian saja tetapi juga disektor lain seperti wisata pantai, tentunya perlu merangkul para nelayan kecil untuk bermitra. Kerjasama ini tentunya akan menguntungkan satu sama lain tanpa ada yang harus dikorbankan. Pemerintah seharusnya mamou membangun sistem tersebut, bukan hanya untuk kepentingan pribadi dan para investor saja. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...