Langsung ke konten utama

Pintar Terlantar Kritis Terkikis

Rasanya jika hidup di zaman sekarang serba salah, diam dianggap apatis dan bicara dianggap bawel. Belajar dianggap sok rajin, malas dianggap beban.

Terkhusus di dalam dunia akademisi. Banyak orang-orang yang pintar namun terlantar. Susah-susah dapat IPK tinggi, pada akhirnya mencari pekerjaan oun juga susahnya setengah mati. Ternyata dibanggakan di dunia pendidikan belum tentu di banggakan di dalam dunia nyata. 

Kalo cepat dapat kerja gak perlu pintar yang terpenting punya orang dalam, relasi maksudnya. Pintar gak dianggap jika tidak punya pengalaman dan skill. Lalu jika memang pintar itu tidak penting, untuk apa cape-cape mengerjakan tugas kuliah, jika pada akhirnya tidak bermanfaat.

(Pixabay.com)

Apakah dosen-dosen kita hanya mengerjai kita. Mereka memberi nilai besar kepada kita seakan-akan kita memang sudah bisa menguasainya. Padahal masih banyak yang belum bisa dikuasai. 

Saat ini banyak orang pintar namun terlantar. Mereka hanya punya ijazah bukan dari keluarga pengusaha. Hidup ini memang penuh dengan kebohongan. Orang jujur dianggap ngawur, pendusta dianggap menarik. 

Terlebih lagi bagi orang-orang yang kritis. Mereka yang kritis akan di cap sebagai anti pembangunan, banyak omong, anarkis, dan tidak beradab. Padahal kritik muncul terhadap orang-orang yang tidak benar melakukan suatu pekerjaan. Jika tak mau dikritik jangan jadi pejabat, jadi masyarakat biasa saja. Masih kalah sama pengusaha restoran, jika dikritik langsung memperbaiki diri. 

Saat ini memang sudah sedikit masyarakat kritis. Mereka seakan-akan terkikis secara perlahan-lahan. Mereka yang dulu kritis kini apatis, dibungkam lalu diintimidasi atau diintimisasi. Baik itu di ranah akademik maupun ranah publik. 

Di ranah akademik orang-orang kritis akan selalu disudutkan. Ia dituduh mahasiswa abadi, padahal bisa saja mereka rajin namun diancam tak lulus. Sudah tahu kualitas pendidikan hari ini hanya omong kosong, ditambah dengan orang yang sok sokan mengatakan "sudah lah lebih baik rajin mengerjakan tugas. Itu saja sudah cukup, tidak harus jadi kritis apa lagi ikut aksi masa." 

Saat ini mahasiswa disuruh menuruti apa maunya dosen, seperti anjing yang menuruti apa kata tuannya. Jelas-jelas ini memang program pembodohan, kurikulum yang tidak jelas mengarahkan mahasiswanya agar jadi orang yang kritis. 

Di ranah publik seharusnya kita bebas menyuarakan aspirasi kita didepan publik, bukannya malah diusik apalagi ditangkap lalu dijebloskan kedalam penjara. Sudah tidak tahu lagi, apa yang mereka mau dan apa yang mereka inginkan.

Katanya siap mendengarkan aspirasi rakyat, nyatanya jika dihujat malah marah-marah. Di anggap radikal lah, anarkis lah, tidak nurut pemerintah lah dan segala alasan yang mereka lontarkan. Mereka selalu menghindar dari kejelasan masa, padahal masa hanya butuh penjelasan. 

Jika memang seorang pemimpin yang berani dan baik tak perlu kabur dari masa aksi, apalagi sampai mengerahkan ribuan polisi. Seakan-akan kami dianggap teroris yang mau menghancurkan negara. 

Padahal ini negeri demokrasi, siapa saja bebas berbicara untuk mengungkapkan pendapatnya. Bicara sedikit langsung ditangkap, dianggap mencemarkan nama baik. Padahal tidak dikritik pun publik sudah tahu tentang kebusukanmu. Mau kau tutup dengan apa kebusukanmu, apakah dengan buzzer, lalu buat citra dirimu sebaik mungkin.

Saat ini memang orang-orang kritis sudah mulai terkikis, menjadi mahasiswa apatis. Namun suatu saat jika pemerintah selalu semena-mena terus menerus, yang terjadi justru akan menghancurkan mereka. Aksi akan menghasilkan reaksi, aksi keras  akan dilawan dengan keras juga.

Walaupun orang kritis suah mulai terkikis, akan tetapi nyala apinya akan tetap ada. Kebaikan akan selalu hidup di zaman apapun, sekalipun di zaman penuh kezaliman. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah bergrilia, diam senyap namun tetap bergerak. Mengumpulkan berbagai elemen masyarakat, menunggu momentum yang tepat. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...