Langsung ke konten utama

Hidup serba formalitas

Pernah kah kamu berpikir, sebetulnya untuk apa sih kita sekolah, untuk apa sih kita bekerja dan untuk apa sih kita mencari pasangan dan seterusnya. Kita kita hidup seakan hanya melakukan apa yang dilakukan oleh orang lain, tanpa mempertanyakan "untuk apa saya melakukan itu"

Coba kita pikir kira-kira dapat apa disekolah? Belajar disekolah cape-cape mengerjakan tugas guru hany untuk menggugurkan kewajiban. Sebetulnya tujuan sekolah itu untuk mendapatkan Ilmu yang bermanfaat atau hanya selembar ijazah saja. Jika tujuannya hanya untuk ijazah, Ia hanya digunakan untuk kejenjang selanjutnya, hanya sebagai formalitas tanpa ada nilai kualitas. Tujuan akhir sekolah pun hanya untuk bekerja dan itu pun ternyata banyak ilmu sekolah yang tidak dipakai. Lalu siapa yang harus disalahkan? Sistem sekolahnya kah atau diri kita yang salah. 

Dalam bekerja pun dari waktu ke waktu hanya seperti itu-itu saja. Berangkat pagi pulang malam, dapat gaji lalu dihabiskan begitu saja untuk menghilangkan stressnya pekerjaan. setiap hari seperti itu terus dan tak terasa lalu pensiun. Apa benar seperti itu kah kehidupan saat ini. 

Bukan hany dalam dunia pendidikan dan dunia pekerjaan saja, tetapi juga dalam masalah sosial. Kita seakan melakukan sesuatu itu hanya untuk kepentingan media sosial saja. Mau bersedekah upload medsos, mau berteman upload medsos dan bahkan mau sedih pun diupload di medsos. Seakan kehidupan sosial kita ini hanya untuk formalitas dan kepentingan media. 

(Pixabay. Com)

Lalu, apa maknanya hidup? Hidup seakan normal padahal ada janggal. Siklus hidup memang dari lahir sampai tua memang seperti itu-itu saja. Mengerjakan sesuatu yang formalitas, tujuannya yang penting sekolah dan yang penting bekerja, tanpa memikirkan aspek yang lainnya. 

Itu lah hidup serba formalitas, Ia tidak punya kemauan untuk maju dan berkembang. Terlena dengan zona nyaman tanpa sadar justru akan menghancurkan diri, karena dunia ini akan terus berubah-ubah jika diam stuck di situ saja, maka siap-siap akan di hancurkan oleh perubahan zaman. 

Hidup kita seakan dikontrol dari lahir sampai tua, seperti robot yang dikendalikan oleh orang lain Ia tidak bisa melawan dan hanya nurut saja. Seakan-akan kita tidak punya kehendak sendiri untuk melakukan sesuatu.

Penyebab dari hidup serba formalitas ini karena memang kita didik secara tradisional atau turun temurun. Kita diajarkan untuk nurut kepada orang tua, diajarkan untuk tidak boleh melawan. Jika melawan dianggap durhaka. Bukan hanya didikan orang tua saja, tetapi juga didikan dari sekolah dan sampai kuliah kita diajarkan untuk tidak kritis dan kreatif. Kita dipaksa dengan pemikiran yang lama. Hampir semua anak tentunya mengalami hal tersebut, sehingga sampai dewasa pikiran-pikiran tersebut selalu terbawa-bawa sampai menjadi kepribadian yang mengakar. 

Bukan hanya pendidikan saja tetapi juga kebiasaan umum. Apa yang kita lakukan tentu mengikuti kebiasaan umum walaupun sebetulnya kita tidak suka melakukannya, tetapi kita memaksa diri sendiri agar sama seperti orang lain. 

Dalam sistem pemerintahan juga sama. Dimana sistem pemerintahan yang mengatur hidup kita. Hidup kita ini seakan diatur-atur oleh sistem yang tidak jelas arah dan tujuannya. Padahal kita hidup di negara demokratis namun sistem yang dilakukan malah sistem otoriter. Kita dilarang untuk mengkritik, jika mengkritik maka dianggap melawan negara. Hal ini lah yang memuat negara ini tidak akan maju dan berkembang karena sistem pemerintahan yang antikritik. Dari sini membuat banyak masyarakat yang diam dan mementingkan diri sendiri, seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

Jika kita terus membiarkan hal tersebut, maka kita akan kehilangan sifat kemanusiaan kita. Kita menjadi robot yang dikendalikan oleh kaum elit, tidak punya kehendak untuk melawan dan tidak punya rasa kepedulian. Secara tidak sadar kita juga ditindas secara pemikiran dan mental. Kita dibiarkan seperti kerbau, apabila tidak tidak nurut maka akan dicambuk. Tidak punya harga diri apa lagi pendirian. 

Seharusnya kita boleh melawan tetapi bukan dengan cara kekerasan tetapi melawan secara pemikiran. Kita punya hak untuk bicara dan berpendapat mengenai keinginan kita dan kehidupan kita. Namun ternyata banyak dari kalangan kita menunggu yang bersuara, tanpa ada yang bersuara, maka hanya diam saja. Hal ini membuktikan bahwa mental kita juga masih terjajah. 

Memang butuh proses panjang dalam permasalahan ini, perlu kesadaran kolektif untuk melakukannya. Tetapi disisi lain menunggupun harus sampai kapan, tidak ada kepastian. Kita tidak bisa diam begitu saja, perlu ada motor penggerak untuk menggerakkan semua orang. Setidaknya bagi yang sadar, dalam mendidik anak. Tentunya Ia harus menjadi manusia yang bebas, berpikir kritis dan kreatif itulah yang bisa kita ajarkan kepada anak cucu kita sebagai generasi setelah kita. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...