Langsung ke konten utama

Cinta dalam Padangan Realisme

(Pixabay.com)
Bicara tentang cinta tentu setiap orang ingin merasakannya, karena orang yang merasakannya kebahagiaan puncak. Cinta adalah anugerah yang terindah yang diberikan oleh tuhan. Setiap orang tentu memiliki pengalaman yang berbeda-beda tentang cinta.

Namun ada sebagian orang yang merasa kecewa karena cinta. Hal ini bukan karena cintanya namun salah dalam memahami cinta itu sendiri. Sering kita mendengar apa itu namanya cinta buta. Cinta buta adalah rasa sangat mencintai terhadap pasangan sampai rela melakukan apa saja demi dirinya, tanpa memedulikan diri sendiri.

Sebagian orang melihat pasangan hanya melihat dari hal-hal yang terlihat di luar tanpa mengenali lebih dalam bagaimana pribadi calon pasangannya sehingga merasa kecewa setelah menikah. Ada juga yang ingin menikah karena alasan-alasan yang salah sehingga terjebak pada orang yang salah pula. Hal tersebut tentu tidak baik untuk diri sendiri, Apabila orang yang dicintai menghianati atau cinta tersebut tidak tergapai, maka akan menimbulkan rasa kekecewaan. 

Orang yang tidak melihat realitas akan menyalahkan orang lain. Ia merasa bahwa kekecewaan yang dialaminya karena kesalahan orang lain. Padahal ini hanya anggapan pribadi yang pada ujungnya menyalah-nyalahkan orang lain tanpa bukti, padahal bisa saja mereka tidak sengaja atau tidak mengetahui apa-apa. Hati manusia siapa yang tahu, tentang anggapan kita terhadap perasaan orang lain. 

Maka dari itu, kita harus mengetahui apa itu realitas cinta. Realitas cinta adalah cara pandang cinta yang bisa dilihat oleh indra. Jika cinta itu hanya dilihat dari segi perasaan maka hal tersebut akan sulit untuk menilainya dan sifatnya menjadi subjektif. Setiap orang tentu akan merasakan perasaan cinta yang berbeda-beda, hal ini tentu akan sulit untuk membuktikannya. Kita tidak bisa mengetahui perasaan orang lain, walaupun Ia mengatakan cinta akan tetapi kita tidak tahu apakah Ia benar-benar tulus atau modus. 

Realisme cinta lebih mempercayai bahwa cinta itu dibuktikan dengan apa yang dilakukan baik itu berupa sikap dan prilakunya. Dalam memilih pasangan, bukan dilihat dari apa yang dirasakan namun apa yang dilihat. Seseorang yang tulus  bukan dilihat dari apa yang ada dihatinya tetapi bisa dilihat dari komitmen yang Ia pegang. Semakin dijaga komitmennya maka semakin tulus cintanya.

Realisme cinta berbeda cara pandang materialisme. Namun realisme cinta yang diperhatikan adalah bukti nyata, bukan hanya secara omongan atau janji manis saja tetapi janji tersebut juga ditepati dan ditindak lanjuti. 

Dalam memilih pasangan realisme cinta, kriteria pasangan ditentukan oleh diri kita pribadi. Pantas tidaknya dengan orang lain, maka kita harus bercermin pada diri sendiri. Jika diri kita adalah orang yang baik maka kita juga pantas mendapatkan orang baik. Jika pribadi kita masih jelek maka tidak layak diri kita mendapatkan yang baik. 

Cinta dalam pandangan realisme cinta itu dikatakan pasti, jika Ia sudah mengetahui identitas, sifat, perilaku, keluarga, dan karakter orang yang disukai.  Atau bisa dikatakan sebelum mencintai seseorang maka kita harus mengetahui identitas orang tersebut. Hal ini dilakukan agar kita tidak tertipu atau dibohongi. 

Antara akal dan perasaan, realisme lebih condong kepada akal dibandingkan perasaan. Bukan berarti tidak butuh mengesampingkan perasaan atau meniadakan perasaan, hanya saja aliran realisme lebih mengedepankan akal. Jadi bisa dikatakan cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang bisa diterima oleh akal. Jika cinta itu tidak sesuai dengan akal, maka itu bukan cinta namun hawa nafsu.

Realisme mengajarkan bahwa cinta itu tidak dibuat-buat, berpenampilan apa adanya, karena realisme berpendapat bahwa, penampilan itu bisa menipu. Realisme lebih memikirkan apa yang bisa dilakukan bukan apa yang diharapkan, tindakan lebih utama daripada hanya sekedar angan-angan. Realisme cinta tidak mengharap lebih terhadap pasangan, Ia tahu bahwa manusia bukan tempat untuk berharap.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...