Langsung ke konten utama

Intelektual Muda Saatnya Kembali Ke Desa

Di era modern ini manusia sudah mulai bertransformasi dari desa menuju kota. Yang awalnya berprofesi sebagai petani, kemudian beralih profesi menjadi pekerja kantoran. Merantau ke kota yang tidak dikenal, demi penghidupan yang layak. Merasa bahwa hidup di desa tidak dapat memenuhi kehidupan di era sekarang ini.

Yang dibutuhkan saat ini bukan hanya makan dan minum, dan pakaian saja yang menjadi kebutuhan pokok, internet dan handphone juga sudah menjadi kebutuhan pokok dimana manusia memang dituntut untuk melek teknologi. Segala pekerjaan saat ini tentunya berbasis teknologi, memang zaman ini semuanya serba praktis. 

(Pixabay.com)

Hidup di perantauan tentunya tidak semudah dipikirkan, memang banyak yang sukses merantau lalu berusaha membuka akhirnya menjadi sukses, tetapi banyak juga yang awalnya menjadi buruh pabrik dan tetap menjadi buruh pabrik juga. Pada akhirnya mereka justru bukannya enak kota orang, justru malah sengsara di kota orang. Orang gagal di perantauan tentunya banyak yang gagal juga pada akhirnya. Hanya orang-orang yang beruntung saja yang bisa sukses di kota lain. 

Mengemis dan berharap kepada para korporat agar memberikan pekerjaan kepada kita, padahal mereka hanya memperbudak kita. Mereka butuh karena ada maunya, jika dan sudah tidak butuh mereka buang begitu saja. 

Bukan hanya pindah dari desa ke kota, banyak juga yang pergi keluar negeri. Tentunya bukan untuk kuliah dan belajar tetapi tetap menjadi seorang pembantu atau pegawai. Gaji mereka mungkin bisa saja besar hanya saja tidak sebanding dengan terpisahnya dengan orang-orang tersayang. 

Boleh saja kita merantau ke kota atau negeri lain, tetapi hanya untuk belajar mempelajari ilmu pengetahuan, lalu kemudian dipraktikkan di desa sendiri. Siapa bilang masyarakat desa itu miskin, justru yang miskin itu mayarakat kota.

Orang desa tidak perlu mahal-mahal beli tanah, cari tanah lalu bangun rumah bebas pilih mau dimana tinggal. Berbeda dengan orang kota yang tinggalnya harus berdesak-desakan dengan orang lain. Apalagi terganggu dengan bisingnya kendaraan dan ribut tetangga.

Orang desa jika mau makan tinggal ke kebun tinggal tanam hasil pun ada yang bisa dimakan dan sebagian dijual. Berbeda dengan orang kota dimana biaya hidup mahal makan enak pun harus pikir-pikir dulu. Uang tak cukup maka makan seadanya saja.

Maka dari itu, saatnya kita pergi lagu merantau ke desa. Kembali menghidupkan tanah-tanah yang kosong tak tergarap. Jangan sampai desa yang dicintai menjadi mangsa yang empuk bagi para korporat. 

Jika para korporat yang cerdas pun sudah sadar bahwa potensi besar saat ini adalah desa, tentu kita juga jangan sampai kalah dengan mereka orang baru masuk desa. Kita orang desa seharusnya tahu betul seperti apa desa.

Saatnya kita sebagai generasi muda tinggal kembali ke desa. Kota bukan lagi harapan untuk sukses akan tetapi menyukseskan desa adalah harapan kita. Tanah kita, tempat kelahiran kita adalah surganya dunia. Pemuda hebat saat ini bukanlah hebat punya jabatan tinggi di kota, sukses lalu punya banyak uang. Akan tetapi pemuda yang hebat adalah bisa mengembangkan potensi yang ada di desanya, memberdayakan masyarakat, dan ikut aktif berjuang bersama masyarakat desa.

Mereka berharap bukan karena menginginkan uang dan harta yang berlimpah, mereka sudah cukup mapan dengan kehidupannya. Yang mereka butuhkan adalah bimbingan dari orang-orang yang terpelajar, agar mereka tidak dibodohi oleh orang pintar yang jahat, yang tega menipu mereka hanya demi keuntungan pribadi. Maka dari itu jangan sampai hal itu terjadi apalagi menimpa desa sendiri. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...