Langsung ke konten utama

Kaum Akademisi Basa Basi Tanpa Aksi

Seiring pesatnya perkembangan zaman, seharusnya pengetahuan dan keilmuan manusia semakin manju dan berkembang. Memang saat ini telah banyak kaum intelek yang menciptakan berbagai karya tulis ilmiah dari mulai mahasiswa sampai profesor. 

Namun di semua tulisan itu, manakah yang relevan untuk digunakan dan benar-benar di praktikan di dunia nyata. Nyatanya tulisan itu hanya sebatas ilmu pengetahuan atau sekedar teoritis belaka. Banyak yang berlomba menciptakan sebuah karya tulis yang jenius dan idenya yang brilian. Namun itu tetap saja dapat dipahami oleh kaum intelektual saja.

(Pixabay.com)

Sayang, saat ini banyak kaum intelektual hanya memikirkan karir akademik saja. Yang terpenting kepintaran mereka itu diakui oleh orang pintar lainnya. Kemudian menyebarkan ilmu pengetahuannya di kalangan akademisi lainnya. Memang hal tersebut bukan sesuatu yang salah, akan tetapi percuma saja jika karir baik, intelektual naik akan tetapi tidak membantu masyarakat kecil. 

Padahal permasalahan di masyarakat itu banyak dan justru lebih rumit dari pikiran dan karya tulis para akademisi. Sayangnya mereka hanya berkutat pada buku dan teoritis tanpa menyentuh alam realitas. Seakan-akan tulisan mereka bisa bermanfaat bagi masyarakat banyak, nyatanya hanya sekedar tulisan yang hanya dipampang di media. Tulisan-tulisan tersebut hanyalah menjadi halusinasi. Jauh seperti harapan dekat ternyata mengecewakan. 

Percuma jika banyak-banyak membaca buku jika tidak turun kejalan. Seminar di sana sini dan bicara diskusi sana sini, hanya membuang-buang anggaran untuk membahas suatu persoalan. Setelah dibahas lalu dilupakan begitu saja, bukankah itu hanya sekedar basa basi tanpa aksi.

Masyarakat tidak butuh gagasan ide yang macam-macam. Mereka hanya butuh aksi nyata yang berdampak langsung kepada mereka. Mereka bukan orang yang paham akan sebuah gagasan, yang merek butuhkan hanyalah hidup nyaman dan tentram. 

Terjunnya kaum intelek ke dalam dunia akademisi seharusnya bukan hanya sebagai meramaikan khazanah intelektual saja. Namun juga bisa turut berkontribusi mengambil andil di masyarakat. Setidaknya bisa memberikan pencerahan bagi masyarakat agar mereka tahu apa yang mereka harus lakukan.

Memang ini ada hal yang disengaja untuk dilakukan. Dalam pengajaran-pengajaran di dunia kampus baik di dalam ruang kelas, ruang seminar dan work shop, itu tidak banyak yang membahas persoalan-persoalan di masyarakat. Padahal itu adalah sesuatu yang dekat dengan lingkungan kita dan kehidupan kita. 

Seperti pepatah yang mengatakan "gajah di pelupuk mata tidak terlihat dan semut diseberang lautan bisa terlihat." Seperti itulah perumpamaannya. mereka berpikir jauh-jauh ke depan berpikir bahkan sampai ke manca negara, akan tetapi tidak memikirkan masalah di sekitarnya. 

Para intelektual muda yang baru lulus dengan bangga dengan IPK-nya yang tinggi, seakan-akan mereka sudah siap terjun ke masyarakat. Nyatanya mereka hanya diam saja, menganggur mencari pekerjaan di sana sini, hanya untuk menyambung nasib hidup. Mereka mengeluh dengan perubahan saat ini, padahal merekalah yang harus merubah kembali perubahan tersebut.

Apakah ini yang disebut agen of change, yang bisa merubah dunia. Jangankan merubah dunia merubah pola pikir pun tidak bisa. Apa yang dipikirkan hanya kerja dan kerja, supaya dapat uang, yang penting uang. Serendah itu hak kecerdasan kita, uang dianggap lebih berharga dibandingkan intelektualitas.

Saya tidak habis pikir apakah kampus yang kita banggakan bisa menjadi agen perubahan, sedangkan kampus saat ini banyak diisi oleh kaum-kaum oportunis yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Jika seperti ini terus, bubarkan saja kampus atau isi saja kampus dengan masyarakat yang mau berjuang dan mensejahterakan masyarakat. Bukankah itu lebih berguna dibandingkan kaum terpelajar yang hanya duduk diam melihat permasalahan. 

Apa artinya sebuah gelar akademik jika melawan korporat saja tidak mampu. Apa artinya IPK tinggi jika mencari solusi saja tidak mamou dan apa artinya belajar di kampus jika tidak mau berbaur dengan masyarakat. Ternyata apa yang kita pelajari itu sia-sia, ilmu kita ternyata tidak bermanfaat terlebih lagi tidak dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat.

Setidaknya kita butuh sebuah kesadaran. Kesadaran untuk merubah tatanan yang sudah bobrok ini. Ada banyak ternyata yang harus kita lakukan, terutama bagi kaum intelektual muda. Bukan hanya sekedar diskusi basa basi, tanpa solusi, tanpa aksi, dan tanpa tujuan yang pasti. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...