Langsung ke konten utama

Mengapa tidak Muncul Perjuangan Kelas

Dalam sistem sosial kita, dimana kita mengenal kalangan atas dan kalangan bawah mungkin bisa disebut kaum borjuis dengan kaum proletariat. Entah sejak kapan sistem ini terbentuk, yang pasti kelas itu terbentuk karena ada orang lemah dan orang yang kuat. Secara hukum rimba tentu yang kuatlah yang akan menjadi seorang pemimpin. Seiring berjalannya waktu dari sistem kerajaan kemudian sampai sekarang yang mana raja masih ada namun tidak sekuat dulu. Saat ini tentu yang merajai sebuah sistem sosial adalah para pebisnis besar dari yang kelas produksi lalu distribusi dan tertinggi adalah investor. 

Sebenarnya tidak ada bedanya dengan sistem feodal yang membedakan hanya yang satu pengagung keturunan dan saat ini pengagung uang. Sistem kelas seperti ini tentu tidak akan runtuh secepat itu. Butuh waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk meruntuhkannya. Bagi orang-orang yang sadar ia selalu berjuang, bangun dan bangkit untuk merubah sistem kelas ini. 

Namun entah mengapa apa yang menyebabkan lemahnya perjuangan kelas. Padahal jelas-jelas kita sudah melihat bahwa sidah banyak yang tertindas oleh sistem ini. Tak peduli apakah itu pria atau pun wanita, dari keturunan siapa yang terpenting kamu punya apa. 

Omong kosong jika kita bicara gender, namun tak bicara kelas sosial. Saat ini bukannya era perempuan tertindas namun era dimana bagaimana memeras orang menjadi keuntungan. Jika ada perempuan yang sukses, bukan berarti ia setara namun lebih dari itu ia menjadi kelas perempuan baru yang membawahi kelas perempuan yang lainnya. 

Tekanan dari kaum elit karena sering menindasnya kaum proletar mestinya menjadi sebuah pemicu dalam perjuangan kelas dan perubahan. Disini ada beberapa sebab mengapa tidak muncul perjuangan kelas. 

Pertama, sistem kelas atas yang terbilang rapi dan sistematis sedangkan kelas bawah belum tertata. Seorang pengusaha tentu ia adalah seorang yang mendisiplinkan diri. Apalagi dalam sistem perekonomian bisnisnya tentu ia rancang sedemikian rupa dari mulai keuangan, modal, karyawan distribusi dan semacamnya ia sudah perhitungkan semuanya. Termasuk juga dalam mengontrol karyawannya, ia tentu sudah memikirkan bagaimana jika karyawannya melakukan pemberontakan. 

Di sini si bos ketika bernegosiasi tentu akan mencari strategi bagaimana caranya agar mereka tidak berontak dan tidak kuat perjuangannya. Tentu ia bisa melakukan pemecatan secara masal sebagai ancaman atau ia melakukan sesuatu yang tidak disadari oleh mereka, seakan-akan menguntungkan mereka padahal akal-akalan saja entah itu diiming-imingi dengan bonus yakni dengan cara lembur atau hal lainnya. Padahal tidak ada namanya bonus dalam pekerjaan yang ada justru si bos selalu mendapatkan bonus dari karyawannya. Ini sulit untuk disadari oleh mereka, sistem ini membuat mereka ketergantungan akan perusahaan yang mana jika tidak bekerja maka ia tidak akan bisa makan. 

Doktrin tersebut tentu sudah ditanamkan dari sejak SD sampai kuliah yang mana kita selalu diarahkan ke perusahaan. Selain itu masyarakat dibentuk agar menjadi unggul dan bersaing dengan yang lainnya sehingga mereka bukan menjadi individu yang kooperatif akan tetapi competitif. Yang ia tekankan adalah cara meningkatkan skill diri bukan bagaimana cara memanfaatkan orang lain. Padahal jika ingin menjadi seorang bos harus bisa memanfaatkan orang lain untuk keuntungan dirinya. 

Memang wajar jika kaum elit bisa berdiri cukup lama di atas karena ia tentu saja sudah mempersiapkan diri beserta terus meningkatkan kemampuan dirinya sudah terstruktur dengan baik. Berbeda dengan kaum bawah yang mana saat ini sudah di rusak yakni sistem sosialnya yang mana ia dipaksa untum bersaing dengan sesamanya. Yang mana ini mungkin terlihat keren baginya karena jika ia menang ia bisa naik kelas, padahal tidak demikian. Ia naik kelas tentu agar bisa menjadi alat pemeras uang yang baik. 

Perlu kita ketahui bahwa sebagian mereka bukanlah orang yang memiliki kemampuan lebih namun karena ia memiliki koneksi dan punya kemampuan untuk memanfaatkan orang lain. Tanpa orang lain tentu ia tidak akan bisa berdiri dengan semestinya, namun entah mengapa masih banyak yang ingin menjadi pundaknya para pengusaha. Ia seperti seorang kesatria yang tunduk pada raja padahal raja itu lemah jika ia mau ia bisa membunuhnya. 

Tidak hanya sistem perusahaan yang mengatur, akan tetapi aturan pemerintah pun juga demikian. Jadi ini merupakan kekuatan besar antara pebisnis denhan pemerintah yang mana mereka saling bekerja sama untuk menghantam orang bawah. Orang kelas bawah seakan terhimpit oleh dua raksasa ini. Hanya menunggu uluran tangan Tuhan saja untuk melawan kezaliman ini. Namum tetap saja bagi yang sadar dan sedang memperjuangkan kelas meski apinya kecil, namun akan selalu tetap menyala. Kita tidak tahu kapan Tuhan membalikan semua sistem yang ada saat ini. Ini memang sebuah ujian bagi bagi para pejuang kelas sosial. 

Kedua, doktrin sosial dan media. Sebelumnya mungkin kita sudah membahas mengenai sistem pendidikan kita yang mana membuat kita bersaing bukan bekerja sama. Kemudian kita selalu diarahkan agar kita menjadi pekerja yang tunduk pada perusahaan. 

Bukan hanya sistem pendidikan yang mengarahkan kita agar menjadi karyawan. Namun media terutama media sosial selalu saja menutupi berita tentang perjuangan kelas. Kita bisa saja terhubung namun hubungan yang begitu ramai sehingga mudah untuk tertutup. Maksudnya bukankah kita berada di era yang canggih dimana komunikasi itu dipermudah. Akan tetapi karena banyak informasi yang tidak jelas dimana banyak berita yang penting itu tidak terangkat sedangkan yang jelek justru terangkat. 

Coba kita lihat saja tontonan saat ini banyak yang jauh dari realita seakan-akan itu adalah hal yang penting padahal itu hanyalah pembodohan. Sedangkan berita berita yang penting justru terabaikan. Mungkin kita tidak bisa serta merta menyalahkan masyarakat namun hal ini bisa jadi karena cara kita dalam menyampaikan sesuatu itu kurang diminati masyarakat. Saat ini mungkin informasi itu tersampaikan dengan mudah namun cara agar masyarakat tertarik, tergugah, tersadarkan apa lagi untuk bergerak itu adalah hal yang sulit. Karena itu tadi sudah terdoktrin oleh berita-berita yang tidak penting. Ibaratnya seperti orang yang sudah kecanduan makanan yang tidak sehat, maka jika disuruh berhenti itu rasanya sulit.

Maka pantas saja perjuangan itu sulit dicapai karena apa yang di konsumsi di media pun adalah hal-hal yang membuat masyarakat menjadi lemah. Mungkin ada juga yang tersadarkan dan mau bergerak namun karena tertampar oleh realita yang mana ia berpikir bahwa tidak ada yang bisa dirubah sehingga ia mundur. 

Masyarakat kita saat ini tidak seperti masyarakat dulu yang gigih dalam menjaga prinsipnya. Meski bara api berada di mulutnya maka ia akan tetap berbicara kebenaran. Masyarakat kita saat ini memang sudah dilemahkan ibarat seorang singa yang selalu diberi makan sehingga ia kehilangan insting berburunya. Jadi bisa dikatakan bahwa insting manusia dalam melakukan perjuangan sedikit sedikit sudah mulai memudar. Ia sidah merasa nyaman dengan sistem saat ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...