Langsung ke konten utama

Bekerja untuk Uang

Yang terlintas dalam pikiran kita ketika kerja adalah tujuannya tentunya adalah uang. Memang benar bahwa bekerja itu untuk mencari uang namun apakah semua orientasi bekerja itu haruslah uang. Apakah membereskan rumah, bersekolah, melakukan hobi itu merupakan sesuatu yang buang-buang waktu karena tidak menghasilkan uang. 

Kalau di tanya hidup itu apa, pasti jawabannya ya untuk mendapatkan uang kalau sudah mendapatkan uang maka kita akan bahagia. Jadi tujuan hidup itu hanyalah untuk uang, dengan uang maka manusia bahagia tanpa uang maka manusia tidak bahagia. Memang sebegitunya hidup kita yang mana kita bekerja dan bahagia itu atas dorongan uang. 

Uang tidak hanya sebagai alat tukar saja akan tetapi ia menjadi sebuah spirit dalam hidup yang mana uang menjadi modal penggerak manusia untuk melakukan sesuatu. Jika tanpa uang maka manusia akan malas dan sulit bergerak karena tidak ada modal penggeraknya. 

Saat ini memang kita tidak hidup di era kerja-kerja mandiri seperti mencari nasi dengan bertani, mencari air ke sungai, buat sabun dan sikat dari alam dan lain sebagainya. Jika dulu memang demikian segala kebutuhan dari alam, manusia harus mengambilnya, mengelolanya memprosesnya, segalanya dilakukan secara mandiri. 

Namun sekarang karena sudah banyak pabrik-pabrik penyedia barang dan jasa sehingga kemampuan-kemampuan kerja mandiri itu sudah mulai hilang karena sudah banyak digantikan. Saat ini mana ada yang mencuci dari sabut kelapa dan batu bata, atau menyikat gigi dengan kayu arak. Semuanya saat ini serba praktis namun semuanya serba beli. Jadi memang benar segalanya butuh uang karena segalanya diuangkan.

Ini memang sesuatu yang sudah dikonsepkan sejak dulu yang mana uang tidak hanya menciptakan sebuah sistem akan tetapi juga ia mengubah budaya serta kepribadian manusia itu sendiri. Yang mana manusia jika dulu hubungan sosialnya adalah karena memang untuk menjalin hubungan kemanusiaan akan tetapi sekarang manusia hubungan sosialnya hanya sekedar untum uang saja. Jadi jika ia bekerja bukan semata-mana ia ingin berkontribusi atau mengabdi akan tetapi hanya untuk kepentingan gaji semata. Jika ia melihat ada peluang bekerja dengan gaji lebih besar lagi tentu ia akan memilih yang gajinya lebih besar. Padahal belum tentu gaji besar itu bisa membuat kita nyaman bisa saja. Meskipun ada orang yang bekerja bukan orientasinya bukan gaji akan tetapi tentu manusia seperti itu sangatlah langka.

Jiwa-jiwa manusia telah ditukar oleh uang-uang yang padahal ia pun tak tahu apa itu sesungguhnya uang. Yang ia tahu uang itu bis membeli banyak hal. Ketika jiwa yang rela ditukar dengan uang, dan menganggap uang itu bisa membeli segala-galanya itu berarti manusia tidak bisa menjadi manusia seutuhnya. Maksudnya manusia semakin semakin tidak mandiri dan selalu ketergantungan akan uang untuk membeli sesuatu.

Saat ini untuk apa memiliki skill memasak jika bisa membelinya secara praktis untuk apa repot-repot bekerja untuk memasak. Sebenarnya banyak sekali kemampuan yang saat ini sudah mulai tidak bisa dilakukan secara mandiri oleh pribadi. Mandiri secara finansial memang itu memang baik tapi percuma saja jika hanya mengandalkan uang saja. 

Lama kelamaan manusia semakin menjadi manusia yang tidak produktif dan justru malah menjadi manusia yang konsumtif. Jika ini terus terjadi maka di satu titik segalanya itu bisa dibeli dengan uang lalu tiba-tiba uang tidak bisa membeli segalanya maka apa yang bisa kita lakukan. Skill apa yang bisa dilakukan oleh manusia yang hanya rebahan, main game nonton dan semacamnya. Apa yang sekiranya bisa dibanggakan, hingga pada akhirnya ia hanyalah manusia yang sia-sia karena tidak bisa melakukan apa-apa tanpa uang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...