Langsung ke konten utama

Bagaimana Gender itu dibentuk

Bicara soal kajian gender, mungkin tidak akan pernah habis-habisnya untuk dibahas. Apalagi di kampus-kampus kajian ini sering disebarkan terutama bagi kaum feminisme. Memang antara feminisme dengan gender ini selalu melekat erat kaitannya.

Gender ini dikaji tidak hanya memahami apa itu laki-laki dan perempuan secara fisik namun hubungan sosialnya pun juga dibahas. Seringnya kajian gender ini dibahas karena kesalahpahaman masyarakat dalam memahami laki-laki dan perempuan. Seakan-akan sebuah sistem sosial yang mana bersifat patriarki adalah sistem yang mutlak. Menganggap bahwa perempuan harus di rumah sedangkan laki-laki itu harus bekerja. Dan juga ada anggapan bahwa laki-laki harus kuat sementara perempuan itu lemah. Dan masih banyak lagi stereotipe-stereotipe yang disandangkan pada laki-laki dan perempuan. 

Yang menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana stereotipe itu bisa terbentuk. Memang jika memahami sebuah stigma sosial tidak bisa hanya dipandang dari satu sudut saja, seperti sosial budaya misalnya. Namun juga harus melihat dari sisi psikologis, politik, komunikasi, ekonomi, biologis dan semacamnya. 

Bicara jenis kelamin, mungkin makhluk lainnya juga memiliki jenis kelamin yang terdiri dari dua macam yakni jantan dan betina. Secara biologis memang baik hewan maupun manusia memiliki kesamaan yakni betina memiliki sel telur dan mengerami anaknya sedangkan jantan memiliki sel sperma yang bertugas untuk membuahi sel telur. Secara fisik baik hewan maupun manusia juga memiliki fisik yang berbeda yang mana pejantan lebih besar dan kuat sementara yang betina lebih kecil dan lemah. 

Gender ini mungkin bisa dihubungkan dengan proses evolusi manusia dari masa purba yang mana manusia pada masa itu seorang pria itu berburu sementara yang perempuan itu meramu. Sampai saat ini memang banyak yang sering menganggap bahwa laki-laki itu cocok dijadikan pemimpin karena lebih kuat, mandiri serta bisa menjaga kawanannya dari musuh. Sistem kerajaan pun muncul karena di antara beberapa pria ada yang lebih unggul sehingga ia dijadikan sebagai pemimpin. Sebuah sistem patriarki terbentuk karena maskulinitas dianggap lebih unggul daripada feminisme. Feminisme dianggap penakut, lemah dan semacamnya sehingga dianggap sosok yang negatif. 

Jika dikaitkan dengan gender lalu apa yang membentuk gender dan bagaimana hal tersebut bisa terbentuk. Hal ini tentunya dibentuk dari apa yang menonjol pada saat itu. Dimana manusia mensimbolisasi sesuatu karena sifatnya yang menonjol. Mengapa merah dilambangkan api, biru dilambangkan air, tumbuhan dilambangkan hijau, gelap dilambangkan buruk, cahaya dilambangkan kebaikan. Semua warna dan benda tersebut tentu adalah sesuatu yang sifatnya mati tanpa makna namun karena ada sifat kemiripan dengan sifat lain sehingga disimbolkan dengan hal yang lain. Jika bicara dewa pun pasti ia disimbolkan dengan hewan yang kuat dan gagah yang mana antara sifat dewa dan penyimbolan dengan hewan yang memiliki kesamaan dengan sifat dewa. 

Selain sifat juga bisa karena adanya kebiasaan yang berulang dan dilakukan oleh banyak orang. Semisal mengapa laki-laki identik dengan memakai celana dan sedangkan perempuan diidentikkan dengan rok. Apakah model pakaian perempuan modelnya seperti ini dan laki-laki seperti itu apakah ada kesepakatan atau ada sebuah konferensi rapat untuk membahasnya. Tentu saja tidak hal tersebut berjalan secara alamiah yang mana dari satu pemahaman ke pemahaman lain hingga akhirnya tersebar dimana-mana. Yang pastinya penyebaran itu bisa masif ketika para petinggi menyebarkan sebuah logika baru, lalu menganggap itu adalah suatu kebenaran karena yang membawanya adalah orang yang dianggap mulia meski aneh orang tentu akan percaya begitu saja. 

Suatu simbol adalah sebuah pemaknaan pada sesuatu yang tidak bermakna pada awalnya. Namun tidak hanya itu saja sebuah simbol pun juga menciptakan sebuah diferensiasi kelas didalamnya. Seperti dijelaskan tadi yang mana pria itu identik dengan kuat sementara perempuan adalah lemah sehingga menciptakan sebuah diferensiasi kelas yang mana pria selalu di atas dan wanita selalu dibawah. 

Kembali ke gender yang mana gender ini bisa dikatakan sistem sosial, budaya, agama, ekonomi bahkan sebuah sistem pemikiran. Gender ini memang selalu melekat pada diri yang mana gender selalu ada hubungannya antara laki-laki dan perempuan. 

Sebuah sistem sosial sifatnya tidaklah baku yang mana dapat berubah seiring perkembangan zaman. Termasuk juga gender ia pun dari masa ke masa akan berubah-ubah. Dari pada masa awal belum ada penyimbolan, kemudian manusia menciptakan simbol sampai terjadi diferensiasi lalu kemudian menjadi sebuah kepercayaan hingga pada akhirnya muncul antitesa yang lebih logis kemudian manusia sedikit-demi sedikit beralih pada pemahaman baru dan kemudian menciptakan kesadaran baru. Begitulah peradaban yang mana ia berubah karena adanya pertentangan. 

Bicara gender pun memang agak rumit untuk dibahas, karena memang tidak ada rumus baku dalam memahaminya. Seperti apakah perempuan identik dengan kecantikan dan pria identik dengan otot kuat tentu saja tidak demikian banyak masyarakat hari ini memiliki cara pandang yang berbeda dan beragam. 

Bicara soal gender memang tidak bisa dipahami secara umum karena di setiap tempat tentu memiliki pemahaman tentang gender yang berbeda-beda. Dari setiap perbedaan itu tentu setiap wilayah bahkan individu memiliki penyimbolan yang berbeda-beda pula. 

Namun tetap saja bicara soal gender tidak hanya tentang kesepakatan umum. Ada namanya pemahaman gender secara kritis yang mana logika umum tidak hanya dipahami apa adanya. Selain kebiasaan umum atau kebiasaan sosial tentu juga kita harus bicara soal dampak sosial. Semisal ketika laki-laki harus menjadi pemimpin apakah ada dampak sosialnya lalu kemudian beralih kepada perempuan apakah ada dampak sosialnya juga. 

Hal ini tentu butuh pemahaman yang mendalam dimana ini tidak bisa dipahami secara umum atau sesuatu yang nampak-nampak saja tentu harus dilihat dari kaca mata lainnya. Kita juga harus memahami dari sisi cara berpikir, cara memahami atay cara memutuskan suatu persoalan apakah ada perbedaan. Jika memang ada perbedaannya lantas apakah perbedaan itu akan mempengaruhi.

Apakah ketika perempuan memimpin maka negara lemah sementara laki-laki memimpin akan menjadi negara kuat. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa meski gaya antara perempuan dengan laki-laki itu berbeda dan pada struktur sosial pun juga berbeda lantas apakah bisa jika dikombinasikan saja. Bukankan Tuhan menciptakan sebuah perbedaan agar bisa disatukan. Bukankah sebuah kesempurnaan itu bukan dimiliki oleh satu orang mutlak akan tetapi sebuah kerjasama yang sistematis. 

Inilah sebenarnya pada intinya mengenai sebuah gender, bukan soal perbedaan antara laki-laki dan perempuan akan tetapi bagaimana cara memahami satu sama lain kemudian menyatukan perbedaan tersebut. Menjadi sebuah kombinasi yang unik dan lebih baik yang mana itu membuat sebuah harmonisasi dan keseimbangan. Bicara soal gender bukan siapa yang harus memimpin, siapa yang paling hebat, siapa yang memiliki peran penting, siapa yang paling unggul dan apapun itu semuanya memiliki keunikan dan kehebatannya masing-masing. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...