Langsung ke konten utama

Sejarah Penggunaan Istilah Kesadaran Palsu

Istilah "kesadaran palsu" pertama kali digunakan oleh filsuf Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, dalam bukunya yang berjudul "Fenomenologi Roh" (1807). Hegel menyatakan bahwa kesadaran manusia selalu berkembang dalam sebuah proses yang terus menerus, dari kesadaran awal yang naif hingga mencapai kesadaran yang lebih tinggi dan kompleks.

Namun, penggunaan istilah "kesadaran palsu" dalam konteks sosial dan politik lebih banyak dikembangkan oleh Karl Marx dan filsuf Frankfurt, seperti Herbert Marcuse. Marx berpendapat bahwa dalam masyarakat kapitalis, kesadaran manusia seringkali dibentuk oleh ideologi dan sistem yang mendukung kepentingan pemilik modal. Marx menyebut hal ini sebagai "kesadaran palsu" atau "false consciousness".

Penggunaan istilah kesadaran palsu semakin berkembang di era modern, terutama dalam kajian filsafat, sosiologi, dan psikologi sosial. Konsep ini menjadi penting dalam pemahaman tentang bagaimana masyarakat terbentuk dan bagaimana ideologi dan media massa dapat mempengaruhi persepsi dan pandangan hidup manusia.

Kesadaran palsu adalah konsep yang diperkenalkan oleh Herbert Marcuse, seorang filsuf dan teoretikus sosial yang terkenal pada abad ke-20. Menurut Marcuse, kesadaran palsu adalah suatu kondisi di mana individu atau masyarakat menganggap sesuatu sebagai kebenaran, meskipun sebenarnya itu tidak benar atau tidak sesuai dengan realitas.

Marcuse berpendapat bahwa kesadaran palsu seringkali disebarkan oleh media massa, iklan, politik, dan budaya populer. Hal ini mengakibatkan masyarakat mengambil keputusan atau bertindak berdasarkan pandangan yang salah atau tidak akurat terhadap dunia. Dalam pandangan Marcuse, kesadaran palsu merupakan suatu bentuk manipulasi dan kontrol atas masyarakat oleh kekuatan yang berkuasa.

Pemahaman Marcuse tentang kesadaran palsu terinspirasi oleh pandangan Karl Marx tentang alienasi dan kapitalisme. Marx berpendapat bahwa dalam sistem kapitalisme, individu mengalami alienasi dari pekerjaannya dan produk-produk yang dihasilkan, sehingga mereka tidak memiliki kendali atas kehidupan mereka sendiri. Hal ini memicu terbentuknya kesadaran palsu, di mana individu atau masyarakat terus-menerus diberi makan informasi yang tidak benar atau membingungkan oleh pihak yang berkuasa.

Contoh:

  • Marcuse, H. (1964). One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society. Beacon Press.
  • Marx, K. (1867). Das Kapital: Kritik der politischen Ökonomie. Hamburg: Verlag von Otto Meissner.
  • Hegel, G.W.F. (1807). Phenomenology of Spirit.
  • Marx, K. (1844). Economic and Philosophic Manuscripts of 1844.
  • Marcuse, H. (1964). One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...