Langsung ke konten utama

Agraria dan pandangan filsafat politik

A. Agraria dan pandangan filsafat politik

Pandangan filsafat politik terhadap agraria juga bervariasi, tergantung pada pandangan politik yang dimaksud. Beberapa pandangan politik yang memandang agraria sebagai bagian integral dari sistem politik dan ekonomi, sedangkan pandangan yang lain memandang agraria sebagai sesuatu yang harus ditekankan secara khusus.

Pandangan liberalisme, yang menekankan pada kebebasan individu dan pasar bebas, cenderung memandang agraria sebagai bagian dari pasar yang harus dikuasai dan dimanfaatkan secara efisien. Pandangan ini dapat mempengaruhi kebijakan pengelolaan tanah yang berorientasi pada pasar dan profitabilitas.

Di sisi lain, pandangan sosialisme, yang menekankan pada penghapusan kepemilikan pribadi dan redistribusi sumber daya alam, cenderung memiliki pandangan bahwa tanah harus dimiliki secara kolektif dan dikelola untuk kesejahteraan bersama. Pandangan ini dapat mempengaruhi kebijakan agraria yang lebih berorientasi pada keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.

Pandangan lain yang berkaitan dengan agraria adalah pandangan dari aliran anarkisme. Anarkisme menolak struktur politik dan ekonomi yang ada dan memperjuangkan tatanan sosial yang lebih demokratis dan egaliter. Dalam pandangan ini, tanah harus dimiliki secara kolektif dan dikelola secara
partisipatif oleh masyarakat tanpa campur tangan pemerintah atau kekuatan ekonomi yang dominan.

Secara umum, pandangan filsafat politik terhadap agraria dipengaruhi oleh pandangan politik yang dipegang oleh masing-masing aliran. Bagaimanapun juga, agraria memiliki peran penting dalam sistem politik dan ekonomi, dan pandangan filosofis dapat mempengaruhi kebijakan dan tindakan dalam pengelolaan tanah.

1. Hubungan agraria dengan kekuasaan politik

Agraria memiliki hubungan yang erat dengan kekuasaan politik karena tanah adalah sumber daya alam yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan merupakan sumber kekuasaan yang signifikan. Kepemilikan dan kontrol atas tanah dapat memberikan kekuasaan ekonomi dan politik yang besar kepada individu atau kelompok tertentu.

Dalam sejarah, terdapat banyak contoh bagaimana kekuasaan politik digunakan untuk memperoleh keuntungan dari tanah. Pada masa kolonial, negara-negara Eropa menggunakan kekuasaan politik mereka untuk menguasai tanah di wilayah-wilayah jajahan mereka, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Di negara-negara yang menerapkan sistem kapitalisme, kekuasaan politik
sering digunakan untuk memperoleh tanah yang subur dan produktif untuk dijadikan sumber daya ekonomi.

Di beberapa negara, sistem politik dan kekuasaan mempengaruhi pembagian tanah dan kepemilikan tanah. Misalnya, di negara-negara dengan sistem sosialis, kepemilikan tanah sering dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kepentingan umum. Sedangkan di negara-negara dengan sistem kapitalis, kepemilikan tanah sering menjadi milik individu atau kelompok tertentu yang memperoleh keuntungan
dari pengelolaan dan pemanfaatan tanah tersebut.

Pembagian tanah dan kepemilikan tanah juga dapat menjadi sumber konflik politik. Di beberapa negara, pengelolaan dan pemanfaatan tanah sering menjadi sumber konflik antara kelompok masyarakat yang berbeda. Misalnya, konflik antara petani dan perusahaan besar di bidang pertanian, atau konflik antara kelompok masyarakat adat dan pemerintah atau perusahaan swasta yang ingin
memanfaatkan tanah di wilayah mereka.

Dalam konteks kebijakan publik, agraria juga menjadi isu yang penting. Kebijakan publik yang berkaitan dengan agraria dapat mempengaruhi pembagian tanah, kepemilikan tanah, pengelolaan tanah, dan pemanfaatan tanah. Sebagai contoh, kebijakan agraria yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan sosial dapat mempengaruhi kepemilikan tanah dan pengelolaan tanah yang lebih adil,
sehingga mendorong masyarakat yang lebih sejahtera secara ekonomi.

2. Pemikiran filosofis tentang pengelolaan tanah

Pemikiran filosofis tentang pengelolaan tanah bervariasi tergantung pada aliran filsafat yang dianut. Beberapa aliran filsafat memiliki pandangan yang cenderung pragmatis dan menganggap tanah sebagai sumber daya alam yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan manusia. Aliran filsafat lainnya cenderung memandang tanah sebagai entitas yang harus dihormati dan dilestarikan.

Salah satu pandangan yang cenderung pragmatis dalam mengelola tanah berasal dari filsafat Yunani kuno, terutama dari tokoh-tokoh seperti Aristoteles dan Plato. Mereka melihat tanah sebagai sumber daya alam yang harus dimanfaatkan secara bijaksana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Namun, mereka juga mengakui bahwa tanah memiliki nilai intrinsik yang harus dijaga.

Di sisi lain, aliran filsafat Romantisisme, yang muncul pada abad ke-18, melihat alam sebagai sesuatu yang harus dihormati dan dilestarikan. Pandangan ini mempengaruhi gerakan lingkungan hidup dan konservasi alam yang muncul di abad ke-19 dan 20.

Pandangan lain yang berkaitan dengan pengelolaan tanah adalah pandangan dari aliran sosialisme. Karl Marx, sebagai tokoh utama aliran sosialisme, menolak konsep kepemilikan tanah pribadi dan mengusulkan redistribusi agraria agar tanah dapat dimanfaatkan secara lebih adil dan efisien. Pemikiran ini mempengaruhi gerakan reforma agraria dan pembagian tanah di berbagai negara di
dunia.

Sementara itu, aliran feminisme juga memiliki pandangan terhadap pengelolaan tanah, terutama terkait dengan peran perempuan dalam pengelolaan tanah dan kepemilikan tanah. Feminisme memperjuangkan kesetaraan gender dalam hal kepemilikan dan pengelolaan tanah.

Dalam pandangan filosofis, pengelolaan tanah harus dilakukan dengan bijaksana dan bertanggung jawab. Pengelolaan tanah juga harus memperhatikan nilai intrinsik tanah itu sendiri, serta kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...