Langsung ke konten utama

Kelakuan Akademisi di Negeri Ini

Seorang akademisi tentunya adalah orang yang dipandang cerdas dalam dunia pendidikan. Ia banyak mengeluarkan banyak karya ilmiyah dan ikut berkontribusi dalam dunia keilmuan. Saat ini dunia membutuhkan kaum intelek yang bukan hanya cerdas secara keilmuan tetapi juga cerdas secara akhlak.

Kaum Akademisi saat ini sudah banyak yang melenceng dari orientasinya dalam keilmuan. Seharusnya keilmuan itu digunakan untuk kemaslahatan umat, tetapi justru malah digunakan untuk kepentingan korporasi. Memang keuntungan yang telah didapatkan dari hasil penelitiannya besar, tetapi di sisi lain justru merusak tatanan kehidupan. 

(pixabay.com)

Ketika seorang Akademisi membuat ANDAL (analisis data lingkungan) untuk suatu proyek. Ketika dianalisa ternyata data tersebut menyatakan berpotensi merusak, tetapi karena kepentingan politik justru dimanipulasi agar hal tersebut menjadi aman dari bencana. Orang-orang seperti ini tentunya banyak di kalangan akademisi. Mereka tersebut tentunya tidak akan bertanggung jawab ketika terjadi sebuah kerusakan, karena tanggung jawab ada di tanggan perusahaan.

Kaum akademisi seharusnya terlepas dari keberpihakan perusahaan ataupun para penguasa negara. Orang akademisi seharusnya berfikir objektif tidak keberpihakan. Dalam melakukan riset tentunya harus sesuai dengan fakta dan data di lapangan. Ketika para akademisi ini lebih berpihak kepada korporat tentunya mencoreng nama baik dunia pendidikan, bahkan dapat merusaknya, tetapi mereka berbicara atas nama pembangunan yang lbuh maju. Yang saya herankan hal ini ternyata dilegalkan dan ini sudah menjadi rahasia umum, padahal ini tentunya kejahatan intelektual dimana kejahatan ini justru lebih berbahaya dibandingkan dengan tindak kekerasan, karena kejahatan ini bisa merebut ruang hidup banyak orang.

Mahasiswa saat ini diajarkan hanya sekedar mengerjakan tugas tidak dituntut untuk berfikir kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah bahkan mungkin dilarang. Mahasiswa dituntut yang penting lulus dan cepat kerja, tidak dibimbing agar menjadi mahasiswa yang bisa membangun perubahan.

Sistem pendidikan kita pun juga dirasa tidak jelas. Coba saja lihat KKN, adakah dosen yang serius membimbing mahasiswanya ketika terjun dilapangan untuk melakukan suatu perubahan? Jangankan seperti itu, diajarkan untuk mencari pemasalahan di desa pun juga belum tentu. Yang ada hanya kegiatan yang omong kosong, keliling desa, main-main, liburan dan tiba-tiba selesai, terus buat laporan. Laporan pun juga terkesan asal-asalan. Lalu, apa yang bisa diharapkan dengan kualitas pendidikan seperti itu?

Jika anda tidak percaya, coba saja anda membicarakan suatu kebijakan pemerintah di forum diskusi kelas lalu bagaimana tanggapan dosen anda apakah Ia lebih memihak kepada masyarakat kecil atau pemerintah dan korporat. Bagaimanakah kira-kira tanggapan dosen anda. Atau misalnya anda membuat sebuah judul skripsi yang mengkritisi kebijakan pemerintah, tentunya dosen anda akan menganggap "skirpsi kamu itu sulit nantinya skipsi kamu gak bakal selesai". Mungkin seperti itu ucapan yang akan dilontarkan.

Bahkan, mahasiswa yang sering demo sering dicap sebagai mahasiswa abadi yang hampir di DO, sebetulnya ini bisa jadi ad beberapa alasan, pertama karen memang pribadinya malas, kedua karena memang orang kritis diancam untuk tidak lulus, orang-orang seperti ini tentunya banyak didunia perkuliahan, hanya saja memang kurang terdeteksi.

Saat ini mahasiswa yang kritis tentunya sudah sedikit di kalangan kita. Mahasiswa saat ini lebih takut dosen ketimbang takut hancurnya negara ini. Lebih takut nilai turun dari pada nilai mata uang turun yang mengakibatkan bangkrutnya negara. 

Jika seperti ini terus, lalu apa jadinya nanti nasib akademisi ke depan. Jika hal ini dibiarkan begitu saja saja, maka akan ada banyak kaum akademisi yang apatis atau pura-pura tidak tahu. Yang perlu kita lalukan tentunya adalah menghidupkan kembali budaya kritis kita sebagaj mahasiswa, tidak harus membuat suatu forum di dalam kelas tetapi kita bisa melakukannya di luar forum. Kenapa harus diluar forum, karena dunia kampus saat ini sulit untuk diharapkan.

Melakukan kegiatan aksi nyata seperti turun lapang melihat kondisi yang sebenarnya kemudian mendiskusikannya bersama orang-orang belum mengetahui keadaan sesungguhnya adalah hal yang perlu kita lakukan. Tidak perlu menargetkan banyak orang, setidaknya perlu konsistensi untuk melakukannya. Budaya kritis mahasiswa mengenai realitas di negeri ini tentunya harus tetap menyala, jangan sampai padam oleh manusia-manusia yang tidak peduli persoalan rakyat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...