.
Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong
Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi.
Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu alam, dan pasir. Memasuki area desa Cikeusal, saya tidak sengaja melihat teman SMP saya, namanya Aldi, kami memutuskan untuk berbincang dengan dia. Aldi menjelaskan bahwa ada 3 desa yang mengalami sering mengalami dampak dari proyeksi pabrik Indocement, yaitu desa Gempol terkena dampak debu, desa Cikeusal dan Cupang terkena dampak getaran, karena pabrik menggunakan bahan peledak, bahkan mengakibatkan ada rumah warga yang sampai retak pondasinya akibat getaran, ada juga kaca yang sempat pecah. Desa Cikeusal juga terkena dampak debu, tetapi tidak seperti di Gempol. Aldi menjelaskan bahwa ada teman SMP kita juga yang menjadi Ketua Karang Taruna di desa Cikeusal, namanya Tedi, mungkin dia bisa membantu kami menuju informan yang sering mengalami langsung dampak dari getaran tersebut.
Ketika bertemu Tedi, kami langsung menuju rumah warga yang bernama Ibu Suheni yang memiliki anak yang bernama Anis. Di perjalanan menuju rumah Anis, kami melihat gunung yang sudah mau rata karena setiap harinya dikeruk dan diangkut oleh truk Indocement. Kami juga melihat banyak selang-selang air dipinggir jalan. Setelah sampai di rumah Anis, kami disambut dengan baik dengan Anis dan orang tuanya. Kami mendengar dari Tedi bahwa rumah Anis ini baru saja diberesi, karena sebelumnya sempat terkena dampak dari getaran peladak Indocement. Terlihat rumah Anis baru saja dicat, dan juga terlihat pula keramiknya baru saja diberesi tadinya retak, mengembung akibat getaran juga. Dia mendapatkan bantuan dari Indocement karena dampak dari pabrik.
Dari perbincangan kami dengan Anis, kami dapat tahu bahwa desa cikeusal merupakan desa yang menggunakan bahasa Jawa dan Sunda (campuran). Indocement sudah mulai berjalan tahun 1981an. Dampak Indocement yang dirasakan oleh mereka adalah debu dan getaran akibat ledakan. Jika ledakannya jauh, getaran tidak terlalu berdampak. Namun, jika ledakan tersebut dekat, getaran yang dirasa bisa sampai mengakibatkan retakan pada tembok dan ada juga warga desa, namanya Bapak Sutarman kaca rumahnya pernah pecah akibat getaran dari ledakan bom tersebut. Bapak Yat, rumahnya pernah terkena lontaran batu akibat getaran. Mengenai debu, menurut Ibu Suheni yang merupakan Anis, jika musim hujan mending, tidak terlalu capek ngurusinnya. Tapi kalau musim panas ngepelnya bisa sampe ngabisin so klin lantai berkali-kali. Dulu ketika belum ada Indocement masih banyak pepohonan dan tidak ada debu seperti sekarang. Ibu Suheni menjelaskan, ketika sudah mulai ada Indocement di situ, mobil bolak balik non stop. Air di desa Cikeusal diambil dari gunung, hanya saja kalau sedang musim panas Indocement memberikan bantuan air. Bantuan dari Indocement berupa air, beras 3 kilo, anak-anak muda yang mengajukan bikin lapangan tennis/sepak bola boleh sajasaja meminta. Sekarang juga ada bantuan kesehatan ngga bayar. Jaman dulu ada rencana bantuan seratus ribu per rumah, tapi hanya sekali terlaksana, sekarang sudah tidak jalan lagi. Dari desa Cikeusal sendiri yang kerja di Indocement sedikit, kebanyakan dari orang luar. Kemarin baru saja Gunung Curi/Kromong longsor, yang mengakibatkan air menjadi keruh. Saat ini air jadinya keruh yang dari gunung, kalo longsornya ke mata air. Dulu sebelum adanya Indocement, alam masih asri, air masih mudah dan tidak jernih. Dulu meskipun ratusan selang air tetap mudah, sekarang mah susah, akibat adanya pabrik semen. Dulu juga gunung dihadapan rumah Anis yaitu gunung Curi/Kromong itu paling tinggi, sekarang sudah hampir rata karena dikerukin terus. Terus kalo ada ledakan genteng sering ada yang jatuh. Sebelum Ibu Suheni menikah, tepatnya tahun 1971, lahan-lahan tersebut sudah dibeli dan menjadi milik Indocement, Tahun 1973 terlihat ada orang luar negeri, dan Indocement baru mulai berjalan tahun 1981. Warga desa Cikeusal kalo menuju air panas atau main ke wilayah pabrik gratis, ngga bayar, tinggal bilang orang Cikeusal. Kalo orang luar bayar.
Itu yang bisa saya dapatkan dari perbincangan dengan Anis dan Ibu Suheni serta tetangganya. Kami merasa dicukupkan saja untuk perbincangan ini, akhirnya kami pun pamit, dan bersalaman dengan Anis dan Ibu Suheni serta tetangganya. Setelah itu saya penasaran dan ingin melihat lebih dekat gunung kromong. Tedi membawa kami ke lokasi yang melihatkan kami dengan gunung kromong secara jelas, di sana kami mendengar suara mesin yang mematuk-matuk bumi, mobil yang wara-wiri bolak-balik mengangkut muatan. Yang terpenting kami melihat gunung kromong yang sudah hampir rata karena dikeruj terus sama pabrik. Setalah mengambil dokumentasi, kami memutuskan untuk pulang, dan berterima kasih kepada Tedi selaku Ketua Karang Taruna Desa Cikeusal, karena sudah menjembatani kami kepada informan kami. Kami pun pulang menuju Pondok Pesantren Ulumuddin.
Komentar
Posting Komentar