Langsung ke konten utama

Sebuah Kontra Realitas Sosial




Idealismu hadir seperti gelombang kecil di tengah samudera luas realitas sosial yang penuh badai. Ia adalah suara dalam batin yang berbisik, bertanya, bahkan memprotes ketika dunia di luar sana terasa tidak sejalan dengan hati dan pikiran. Dunia ini, dengan segala kerumitannya, telah menciptakan ruang sosial yang kadang begitu sulit untuk dipahami, apalagi diterima. Gesekan demi gesekan antara kenyataan dan keinginan melahirkan kontradiksi yang terus menghantui.

Realitas sosial tidak pernah lahir dari kehampaan. Ia tumbuh, berkembang, bahkan kadang menggurita dari akar-akar lingkungan alam, kebijakan politik, dan sistem ekonomi. Semua itu dirangkai dalam sebuah pola yang disebut "sistem." Sistem ini, dengan segala kompleksitasnya, mengatur kehidupan manusia dalam skala besar—dari bagaimana kita hidup hingga apa yang kita pikirkan sebagai hal yang "normal."

Namun, normalitas ini bukanlah sesuatu yang mutlak. Ia adalah hasil dari dominasi sosial, sesuatu yang diterima begitu saja oleh banyak orang tanpa pernah benar-benar dipertanyakan. Sejak kecil, kita dibentuk oleh lingkungan sosial yang telah lebih dulu ada. Kita bukan aktor utama yang membentuknya, melainkan bagian kecil yang terpengaruh olehnya. Dalam proses ini, suara kita—yang kecil dan rapuh—sering kali kalah oleh gemuruh suara mayoritas.

Di sinilah idealisme menemukan panggungnya. Ia muncul dari ketidaksempurnaan, dari celah-celah keanehan yang dirasakan dalam tatanan sosial. Ada sesuatu yang salah, pikir sang idealis, meskipun kebanyakan orang mungkin melihatnya sebagai sesuatu yang wajar, bahkan benar. Apa yang dianggap wajar oleh banyak orang sering kali justru menyembunyikan sebuah ironi yang mencengangkan.

Misalnya, bagaimana bisa ketidakadilan dianggap sebagai harga yang harus dibayar untuk "kemajuan"? Mengapa suara individu kerap tenggelam dalam hiruk-pikuk kepentingan kolektif yang tidak berpihak kepada semua? Idealismu hadir untuk mempertanyakan semua itu. Ia adalah perlawanan batin terhadap apa yang disebut "common sense," sesuatu yang diterima begitu saja oleh masyarakat tanpa banyak dipikirkan.

Namun, idealisme bukan hanya tentang melawan. Ia juga tentang menemukan jalan baru, tentang menciptakan ruang untuk pemikiran yang lebih baik dan kehidupan yang lebih adil. Ketika banyak orang menyerah pada arus sosial yang membawa mereka ke mana pun tanpa arah, idealis memilih untuk berenang melawan arus. Meski sulit, meski melelahkan, mereka tahu bahwa perubahan hanya bisa terjadi jika ada yang berani menolak untuk diam.

Idealismu mungkin tidak selalu dipahami, bahkan sering kali dianggap utopis, mimpi di siang bolong. Dunia ini, dengan segala komprominya, tampaknya tidak memiliki tempat untuk mereka yang berpikir di luar kotak. Namun, bukankah semua perubahan besar bermula dari seseorang yang berani bermimpi? Bukankah setiap sistem yang mapan pernah ditantang oleh mereka yang berpikir bahwa dunia bisa menjadi tempat yang lebih baik?

Namun, idealisme juga membutuhkan pijakan. Ia tidak bisa hanya menjadi sekadar wacana di kepala, tanpa tindakan nyata. Jika hanya berhenti pada pemikiran, ia tidak lebih dari bunga-bunga yang layu sebelum mekar. Idealismu harus bergerak, menjelma menjadi tindakan, sekecil apa pun itu. Sebab, dalam setiap langkah kecil yang diambil, ada harapan untuk meretas kontradiksi sosial dan membangun harmoni baru.

Pada akhirnya, idealisme adalah cermin dari keberanian untuk merasa tidak nyaman dengan dunia yang ada. Ia adalah pengingat bahwa kita bukanlah robot yang hanya menerima segala sesuatu sebagaimana adanya. Kita adalah makhluk berpikir, makhluk yang mampu mempertanyakan, menolak, dan menciptakan. Dalam setiap batin yang gelisah, dalam setiap pikiran yang memberontak, ada potensi untuk mengubah dunia.

Mungkin tidak hari ini, mungkin tidak juga esok. Tetapi dengan setiap gesekan kecil yang tercipta, idealisme adalah api kecil yang suatu hari nanti bisa menjadi obor besar yang menerangi jalan menuju masa depan yang lebih baik. Sebuah masa depan yang tidak hanya wajar menurut common sense, tetapi benar-benar adil dan manusiawi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...