Langsung ke konten utama

Kesiasiaan dalam Hidup



Ada yang bilang hidup itu perjalanan penuh hikmah, tapi bagi sebagian orang, hidup lebih menyerupai lelucon murahan yang tak pernah lucu. Bayangkan, bertahun-tahun menghabiskan waktu duduk di bangku sekolah, dari SD hingga S2, dengan harapan membangun masa depan cerah yang katanya pasti akan datang. "Belajar yang rajin," kata mereka. "Nanti kamu akan sukses." Tapi entah kenapa, sukses itu rasanya seperti ilusi. Semakin dikejar, semakin menjauh.

Bayangkan, kamu lulus dengan gelar yang mentereng, membawa ijazah yang katanya adalah tiket menuju kebahagiaan. Tapi kenyataan berkata lain: tiket itu rupanya hanya akses ke antrean panjang berisi penolakan. Tes kerja gagal? Sudah biasa. Lamaran ditolak? Itu menu harian. Uang habis? Oh, itu bonusnya. Dan pada akhirnya, pulang ke rumah orang tua dengan kepala tertunduk, membawa koper penuh kegagalan.

"Sabar," kata mereka. Oh, tentu saja. Sabar adalah solusi ajaib yang selalu diusulkan. Rasanya seperti menyuruh seseorang yang tenggelam untuk lebih rileks saja, padahal air sudah masuk ke paru-paru. Kata "sabar" sering dilontarkan oleh mereka yang hidupnya cukup nyaman untuk memberi nasihat tanpa benar-benar mengerti. Sabar itu katanya kunci kehidupan. Tapi kunci macam apa yang tak pernah membuka pintu?

Lalu, ada yang berkata, "Rezeki nggak akan kemana." Memang benar, rezeki itu nggak kemana. Dia duduk manis di tempatnya, sementara kamu berlari ke sana kemari seperti orang bodoh, berharap bisa menemukannya. Tapi apa daya, langkahmu seperti treadmill: banyak gerak, tapi tak kemana-mana.

Dan kalau kamu berani mengeluh, bersiaplah untuk menerima ceramah panjang tentang bagaimana "ada yang hidupnya lebih susah." Tentu, itu benar. Tapi apakah itu artinya rasa sakitmu tidak valid? Bagaimana jika hidup ini memang kompetisi penderitaan, di mana pemenangnya adalah yang paling sengsara? Selamat, Anda tidak cukup sengsara untuk mendapat simpati, tapi juga tidak cukup bahagia untuk hidup nyaman.

Kadang, pikiran gelap datang seperti tamu tak diundang. "Buat apa hidup seperti ini?" tanyamu. Seperti karakter dalam drama tragis, kamu berdiri di pinggir jurang eksistensial, bertanya-tanya apakah ini semua ada gunanya. Tapi bahkan untuk mengakhiri semuanya, kamu terlalu lelah. Ironis sekali, ya? Hidup ini tak memberikan apa-apa, tapi tetap saja menuntut lebih banyak energi darimu.

Orang-orang suka memberi nasihat klise. "Semua ada waktunya." Benar, semua ada waktunya. Waktu untuk berjuang, waktu untuk jatuh, waktu untuk bangkit lagi, dan waktu untuk menyerah. Tapi kapan waktunya bahagia? Apakah kebahagiaan itu hanya untuk mereka yang punya privilege? Atau apakah kebahagiaan itu hanya mitos yang diciptakan untuk membuat kita tetap patuh menjalani hidup?

Dan yang paling menyebalkan adalah mereka yang bilang, "Kamu kurang berusaha." Kurang berusaha? Apa mereka tahu berapa banyak malam yang kamu habiskan memoles CV? Berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk mengikuti tes demi tes, berharap kali ini berhasil? Tapi usaha sering kali seperti menanam benih di tanah tandus. Tanpa dukungan ekosistem yang tepat, tidak ada yang tumbuh, kecuali frustrasi.

Jadi, di sinilah kamu, berdiri di tengah absurditas kehidupan. Orang-orang terus menyuruhmu sabar, berusaha, dan bersyukur, seolah-olah itu adalah mantra ajaib yang akan mengubah hidupmu dalam semalam. Tapi kamu tahu lebih baik. Hidup ini bukan dongeng di mana semuanya berakhir bahagia. Ini lebih seperti novel Kafka, penuh absurditas yang melelahkan.

Mungkin, pada akhirnya, kita semua hanya aktor dalam komedi tragis yang disutradarai oleh alam semesta. Peranmu? Menjadi karakter yang terus mencoba, meski tahu naskah ini tidak berpihak padamu. Jadi, apa yang bisa kamu lakukan? Tertawa pahit, mungkin, dan melanjutkan hidup dengan langkah gontai. Sebab, di dunia ini, tidak ada pilihan lain selain terus berjalan, meski jalan itu terasa seperti labirin tanpa akhir.

Dan saat seseorang datang lagi dengan nasihat sabarnya, mungkin sudah saatnya kamu menjawab: "Sabar sudah jadi menu harian saya. Mungkin kali ini, Anda bisa menyajikan solusi yang lebih masuk akal?"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Struktural Keorganisasian Kampus

(Dokumen Pribadi) Jika kamu adalah anak kuliah tentu pasti sudah tahu apa itu organisasi kampus. Mungkin ada sedikit perbedaan antara organisasi kampus dengan organisasi lainnya. Jelasnya organisasi kampus tentunya diisi oleh mahasiswa dan tentunya pola pikir keorganisasian dan tujaunnya berbeda dengan organisasi diluar kampus. Organisasi kampus sendiri terdiri dari dua macam, ada organisasi intra kampus kampus dan organisasi ekstra kampus. Organisasi kampus ini seberulnya hampir mirip dengan sistem kenegaraan kita seperti eksekutif, legislatif dan partai politik. Organisasi kampus ini, bisa disebut juga sebagai miniatur negara, untuk lebih jelasnya saya akan jelaskan dibawah ini:  Organisasi Intra Kampus Definisi organisasi intra kampus sendiri ada di dalam aturan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi (PUOK). Secara singkatnya organisasi intra kampus ini berada di bawah naungan kampus. Orga...

Antara Alam Pikiran dan Alam Realitas

Pernahkan kamu berfikir? Ya tentunya semua orang di dunia ini melakukan segala aktifitas dengan berfikir kecuali pada saat tidur dan pingsan. Hal yang unik dari manusia adalah manusia berbeda dengan fikirannya hewan. Hewan hanya berfikir berdasarkan insting naluri berfikirnya jika ada hewa-hewan cerdas seperti lumba-lumba dan  simpanse, mereka tentunya harus dilati terlebih dahulu. Tanpa dilatih mereka hanya hewan biasa walaupun di katakan hewan cerdas pun pemikiran mereka tetap saja tidak bisa berkembang. (Pixlab.com) Manusia tentunya memiliki kelebihan dibandingkan dengan hewan lain yakni pikiran, dengan pikiran manusia bisa melakukan hal yang sulit menjadi mudah, membuat hal yang kreatif dan inovatif, berimajinasi, berlogika, mempelajari hal baru dan masih banyak yang lainnya. Sejauh ini peradaban diciptakan oleh manusia dari masa-masa, manusia mempelajari hal baru dan ilmi-ilmu baru. Berbicara tentang pemikiram ini tentunya adalah hal yang unik, karena setiap orang memiliki tin...

Buat Apa Kita Belajar

Pertanyaan ini sebetulnya adalah pertanyaan yang kurang kerjaan, tetapi memang perlu kita pikirkan bersama. Memang sudah jelas tujuan belajar adalah menjadi orang yang pintar. Tetapi menurut saya itu bukan jawaban yang tepat. mengapa itu bukan jawaban yang tepat, karena kita harus lihat dulu tujuan dari belajar itu sendiri. Jujur saya orang yang senang belajar tetapi saya kurang suka pelajaran di sekolah, karena orientasinya hanya sekedar nilai. Mungkin ini tidak sesuai dengan stigma masyarakat. (Pixabay.com) Kita tentunya harus mengubah tujuan dari belajar. Jika kita belajar rajin mengerjakan PR, rangking satu, ujian selalu baik tentunya itu adalah anak yang pintar. Padahal itu bukan orang yang pintar, tetapi dia hanya ingin dipandang baik masyarakat (sekolah) makanya harus rajin agar dipuji oleh banyak orang. Jika kamu merasa puas ketika dipuji karena rangking satu tentunya sangat puas. Tetapi puasnya hanya cukup disitu saja. Setelah ia puas maka ya sudah pelajaran yang telah lalu di...